Karya : Herri Gunawan

Aku sering bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku hanya akan berakhir seperti ini saat semua teman-te manku sudah memilih jalan hidupnya seperti yang mereka inginkan? Mau rasanya aku menyalahkan Tuhan atas penderitaan ini. Namun, aku takut karena Tuhanlah yang memiliki hidup setiap orang.

Aku terus membayangkan hukuman Tuhan kalau aku terus-menerus menyalahkanNya atas takdirku sebagai tunanetra. Tapi Tuhan, pahamilah gelisahku ini. Akan jadi apa aku ketika umurku 30 tahun nanti?

Di tengah-tengah kegamangan itu, aku mendengar berita di televisi. Bahwa ada seorang tunanetra yang mahir mengoperasikan komputer. Ia bahkan memperagakan keahliannya dalam membuat aransemen musik hanya dari sebuah komputer bicara. Tak hanya itu, ia juga menunjukkan kecepatannya mengetik hanya dengan satu tangan di atas netbook yang ia gunakan.

Kurasa, di situlah harapanku bangkit. Seorang tunanetra ternyata juga bisa mengoperasikan perangkat komputer. Kuharap aku bisa seperti tunanetra yang tampil di televisi itu.

Aku pun lantas meminta ibu mencari informasi agar aku bisa mendapatkan kursus komputer bicara tersebut. Hanya berbekal kata kunci tunanetra, ibu mencari diinternet. Dan muncullah beberapa yayasan yang mengajarkan komputer bicara berbasiskan screen reader atau aplikasi pembaca layar khusus untuk tunanetra. Mulai dari yang di luar negeri, hingga di Indonesia, tepatnya di Jakarta.

Namun ketika aku bersiap untuk mengikuti kursus itu, tiba-tiba ibu sakit. Mata kanannya mengalami penurunan penglihatan, namun belum diketahui apa sebabnya. Berhubung pengobatan di Surabaya tidak memuaskan, ibu memilih berobat ke Penang. Tentu saja ini memunculkan masalah baru. Sebab pengobatan ke Penang tidaklah sedikit biayanya.

Saat itu, tidak ada cara lain kecuali meminjam uang dari bank untuk membiayai pengobatan ibu di Penang. Sembari menunggu pencairan dana yang prosesnya berbelit-belit itu, kuutarakan rencanaku pada keluarga. Bahwa aku ingin ikut ke Jakarta, menemani ibu yang akan berangkat ke Penang bersama adik.

“Tapi aku hanya sampai di Jakarta saja. Aku ingin ikut kursus komputer bicara di sana,” ujarku mantap.

“Jangan aneh-aneh kamu. Bagaimana kamu bisa beradaptasi di kota seluas itu kalau di kampung saja kamu tidak pernah kemana-mana?” gertak Bapak.

Aku tak ciut dengan gertakan Bapak. Aku tetap ingin pergi karena inilah kesempatanku. Aku hampir saja mengancam akan membuat masalah jika tetap tak diizinkan pergi. Untunglah itu tidak terjadi. Bapak menerima keputusanku dan membiarkanku berangkat bersama ibu dan adik.

Tiba di Jakarta, hanya berselang semalam di Hotel, kami langsung mencari Yayasan Mitra Netra, yang menyelenggarakan kursus komputer itu berbekal penunjuk jalan dari Google. Syukurlah tidak perlu berputar-putar. Kami langsung sampai dan aku bisa segera mengikuti pelatihan keesokan harinya.

Selama 10 hari selanjutnya, aku berlatih Orientasi Mobilitas. Menghafal jalan antara kos dan Yayasan Mitra Netra sampai di luar kepala. Lalu sebelum ibu dan adikku berangkat ke Penang, kami mengunjungi bank untuk mengurus rekening atas namaku. Sayang mereka menolak dengan alasan KTP-ku masih KTP sementara. Terpaksalah aku menggunakan kartu ATM adikku selama di Jakarta ini.

Bapak benar, tak mudah memang menjalani hidup di ibukota yang tak ramah disabilitas ini. Tapi aku tak punya cara lain. Aku tetap harus beradaptasi. Memang pada awalnya aku selalu bergantung pada Mas Adi, salah seorang pengajar keyboard dan konselor Yayasan Mitra Netra, hanya untuk pergi ke warung membeli makan. Tetapi lama-kelamaan, aku sudah bisa sendiri.
Kalau aku tidak mulai berani, kapan aku tahu seperti apa seorang tunanetra bisa menjalani hidupnya.

Tak hanya ke warung, ke pasar Pondok Labu pun aku mulai berani. Berbekal petunjuk dari seorang instruktur Yayasan Mitra Netra, aku berusaha menaklukkan rasa takutku terhadap tempat asing.

Merasa bisa, aku kembali mencoba hal baru. Kali ini aku naik Trans Jakarta dengan tujuan perjalanan tak tentu. Selama tiga jam aku kebingungan bersama petugas bus karena lupa dari halte mana aku naik. Sampai kemudian, ada seorang ibu yang bertanya kepada petugas di mana ia harus transit bila ingin ke Lebak Bulus.

Mendengar ada yang menyebutkan Lebak Bulus, aku langsung berkata kepada petugas itu bahwa aku juga ingin ke Lebak Bulus. Sebab itulah satu-satunya halte yang aku tahu.

Ya, mungkin inilah jawaban Tuhan atas pertanyaanku. Bagaimana aku di usia 30 tahun nanti, terjawab dari caraku menjalani hari ini.

* Karya ini berasal dari buku “Melihat Dengan Hati: Sketsa Cerita 13 Tunanetra” yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2018. Buku ini merupakan kumpulan tulisan tunanetra yang mengikuti Workshop Menulis Kreatif yang diadakan OJK bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra.

Leave Comment