Erywati dengan baju merah berdiri di depan sebuah gedung

Istilah albinisme bisa jadi tidak populer di tengah masyarakat.  Akan tetapi, lain cerita jika merujuk pada kata albino yang merupakan sebutan bagi orang yang menyandang albinisme. Meski istilah albino lebih familiar, pemahaman tentang kondisi para penyandangnya pun hampir sama kurang populernya untuk orang awam. Mereka kerap disalahpahami dan dianggap tak memiliki permasalahan yang serius. Pada artikel ini, Ery Wati, seorang dosen di sebuah universitas di Aceh akan menguraikan fakta dan pengalaman pribadinya sebagai seorang wanita albino dan penyandang low vision. Seperti apa kisahnya, simak selengkapnya di sini!

Baca juga: Meluruhkan Persepsi Keliru tentang Tunanetra dan Matematika

 

Mengenal Kondisi Albinisme dan Kaitannya Dengan Tunanetra

Istilah albinisme berasal dari bahasa latin albus yang artinya putih. Untuk definisi albinisme pada situs Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Albinisme adalah kelainan genetik yang disebabkan kurangnya produksi melanin, yaitu pigmen yang memberi warna kulit, rambut, dan mata. Seseorang yang memiliki albinisme disebut dengan albino. Albino memiliki rambut, kulit, dan mata dengan warna lebih terang dan pucat dari warna kulit ras asalnya.

Lalu apa kaitan albinisme dengan tunanetra? Ada berbagai dampak yang ditimbulkan dari kondisi albanisme, salah satunya adalah gangguan penglihatan. Ketiadaan atau kekurangan pigmen dapat membuat perkembangan retina mata pada bayi yang baru lahir menjadi terhenti. Ciri tersebut dapat terlihat dari iris mata yang berwarna abu-abu atau biru pucat. Lantaran berhenti berkembang, retina mata tak mampu memproses cahaya dan gambar secara tajam/fokus. Efeknya, para albino memiliki gangguan penglihatan dengan berbagai gejala, seperti rabun jauh/dekat, mata silinder (astigmatisme ), Gerakan mata tidak terkendali (nistagmus), Mata sensitif terhadap cahaya (fotofobia),  serta mengalami penurunan penglihatan menjadi low vision hingga totally blind.

Baca juga: Arti Sahabat bagi Perjalanan Cerita Stella Putri Menjadi Tunanetra

 

Tantangan yang Dihadapi Para Albino  Dengan Gangguan Penglihatan dan Penyesuaian yang Dapat Dilakukan

Jika dilihat sekilas, Orang-orang albino dianggap tak memiliki permasalahan serius lantaran dapat beraktivitas seperti orang non-disabilitas. Bahkan, tak jarang mereka sering disamakan dengan orang bule. Hal inilah yang juga dialami oleh Ery semasa kecil. “julukan albino baru saya sadari ketika saya sudah dewasa dan bekerja di NGO Handicap International (2006 – 2012). Padahal waktu saya masih kecil nggak sadar kalau saya itu disabilitas. Orang banyak mengejek saya dengan sebutan “Bule”. Karena albino merupakan bawaan sejak lahir, jadi sebutan tersebut tidak mengganggu teliga saya. Apalagi saya dikelilingi oleh orang orang yang membawa arus positif dalam kehidupan saya”

Sebagai seorang penyandang low vision dampak dari albinisme, Ery menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan pembelajaran di usia sekolah.  “Keterbatasan mata ( Low vision) membuat aktivitas saya terbatas. Keluarga sudah berusaha membawa saya ke dokter ahli mata tapi tidak ada ukuran untuk mata albino, Jadi dokter menyarankan untuk memakai kacamata riben. Keterbatasan mata menjadi hambatan saya dalam proses belajar di sekolah. Para guru yang tidak mengerti kondisi penglihatan saya membuat saya kualahan. Sebentar bentar bangun menuju ke papan tulis untuk mebaca yang ibu guru tulis dan kejadian ini berlangsung sampai 6 tahun. SMP dan SMA saya memiliki teman sebanhku yang baik. Mereka suka membantu mendiktekan saat guru menulis di papan tulis dan saya sering pinjam buku catatan teman” tulis Ery dalam wawancara.

Dalam jurnal bertajuk strategi belajar mahasiswa Albino dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi yang pernah ditulisnya, Ery yang merupakan dosen di Universitas Jabal Ghafur Sigli. (Aceh Pidie) ini mengungkapkan bahwa siswa dan mahasiswa albino yang pernah menjadi informan penelitiannya juga mengalami tantangan dalam penggunaan teknologi komputer/laptop. “Permasalahan lainnya ialah kesulitan dalam mengoperasikan komputer. Delapan dari 10 responden mengatakan sangat kesulitan untuk mengoperasikan komputer. Kesulitan ini berupa silau terhadap cahaya layar yang mengakibatkan bola mata terasa sakit dan perih saat menatapnya dengan durasi waktu tertentu, sulit membaca tulisan di komputer, sering kehilangan jejak kursor. Di  samping itu, karena siswa/mahasiswa albino kurang terbiasa berhadapan langsung dengan komputer mengakibatkan mereka kurang cakap dalam menggunakannya. Bahkan hingga saat ini masih menghindari aktivitas yang berkenaan dengan komputer”.

Sebagai penyesuaian dari tantangan tersebut, Ery menuliskan rekomendasi pada siswa/mahasiswa albino dengan gangguan penglihatan agar melakukan instalasi piranti lunak pembaca layar pada laptop /komputer yang mereka gunakan. Hal ini akan mengurangi risiko paparan radiasi dan sinar biru dari perangkat komputer yang tentunya dapat memperburuk kondisi penglihatan mereka yang rentan cahaya.

Baca juga: Berani Mencoba. Jurus Sakti Ayu Ningsih Hadapi tantangan sebagai low vision

 

Dapatkan Dukungan Melalui Komunitas

Di samping tantangan di kegiatan pembelajaran, orang-orang albino dengan gangguan penghlihatan juga memiliki tantangan interaksi sosial. Hal ini erat kaitannya dengan dampak psikologis yang juga umum dialami oleh penyandang tunanetra, baik yang totally blind maupun low vision.

“lima dari 15 informan yang diwawancarai mengatakan memiliki kesulitan atau hambatan dalam melakukan interaksi atau adaptasi diri dalam bersosialisasi. Salah satu faktor utama penyebabnya ialah keterbatasan dalam penglihatan, di mana dalam keterbatasan penglihatan ini mengakibatkan mereka kesulitan dalam melakukan aktivitas   sederhana yang bahkan sangat mudah dilakukan oleh mahasiswa lainnya, seperti kesulitan mengenali orang, kesulitan menyapa orang yang bertemu di jalan dan kesulitan dalam mengartikan insyarat-isyarat nonverbal, seperti lambaian tangan, isyarat tangan, ekspresi wajah, tatapan mata, gestur tubuh, dan lainnya. Hal ini yang membuat mereka lebih suka berdiam diri di rumah, lebih suka beraktivitas sendiri tanpa melibatkan orang lain, memilih aktivitas yang tidak melibatkan lingkungan outdoor”, demikian dikutip dari jurnal yang sama.

Dalam mengatasi tantangan interaksi sosial tersebut, Ery yang saat ini menjabat sebagai Ketua    Daera Persatuan Tunanetra Indonesia ( Pertuni)    Provinsi Aceh periode 2022-2027 menyarankan untuk orang-orang albino dengan gangguan penglihatan untuk bergabung dengan komunitas yang bisa memberikan dukungan atau pendampingan, seperti  Yayasan Mitra Netra, Pertuni, atau komunitas Albino Indonesia Family (AIF), tempat Ery juga bergabung di sana. Dengan bergabung di sebuah komunitas, para albino dapat lebih membuka diri dan mengatasi tantangan yang dihadapi karena memperoleh dukungan yang tepat dari lembaga dan sesama albino.

“Kepada siswa/mahasiswa Albino, baik low vision maupun tunanetra total, semoga bisa lebih membuka diri kepada orang lain agar permasalahan yang dihadapi bisa dibicarakan bersama. Jangan takut dan jangan merasa sendiri. Yakinlah bahwa meskipun keterbatasan yang dihadapi sukar diobati, tetapi ada orang-orang di sekitar yang selalu memahami dan memberikan dukungan. Pemberian dukungan dan pemahaman tentunya harus dimulai dari diri sendiri. Jangan takut, jangan segan dan terus semangat”, pungkasnya.

*Juwita Maulida

 

Leave Comment