Membaca dan menulis adalah ketrampilan dasar yang harus dimiliki setiap orang, yang menjadi  fondasi untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan lainnya, kemampuan berbahasa baik lisan maupun tulisan; kemampuan berhitung, berlogika, hingga akhirnya   termasuk kemampuan “berbahasa coding”.

Berkat jasa Louis Braille, para tunanetra pun dapat menempuh pendidikan setinggi mungkin. Terlebih lagi saat ini ada dukungan teknologi adaptif yang super canggih. Dengan dukungan teknologi adaptif tersebut, kegiatan belajar, termasuk membaca dan menulis menjadi lebih mudah. Sebagai contoh, dahulu, membuat buku dalam huruf Braille dilakukan secara manual, sehingga membutuhkan waktu lebih lama serta tenaga lebih banyak. Kini, dengan perkembangan teknologi komputer, membuat buku Braille dapat dilakukan dengan lebih cepat. Bahkan, dengan perkembangan teknologi, muncul varian baru bentuk buku yang dapat dibaca secara mandiri oleh tunanetra, yaitu buku audio digital dan buku e-pub. Hal ini diikuti dengan penciptaan alat bantu untuk membaca kedua varian buku tersebut.

Meski telah ada teknologi, anak-anak tunanetra tetap harus belajar membaca dan menulis huruf Braille di fase awal usia sekolah mereka.  Sebagaimana anak-anak yang tidak tunanetra, anak-anak yang menyandang tunanetra juga harus belajar membaca. Sempat ada pandangan bahwa dengan adanya kemajuan teknologi, buku Braille tidak lagi diperlukan. Tentu saja pandangan ini keliru. Bagi tunanetra yang beragama Islam, misalnya, mereka juga harus belajar membaca Al Qur’an Braille, bukan hanya mendengarkan Al Qur’an versi audio, karena nilai membaca Al Qur’an dengan mendengarkan orang lain membaca Al Qur’an itu berbeda. 

Lalu, di manakah anak-anak tunanetra belajar membaca? Tentu saja di sekolah.

Sayangnya, di Indonesia, belum semua anak tunanetra usia sekolah bersekolah. Menurut perkiraan Kementerian Pendidikan, angka partisipasi tunanetra usia sekolah di bidang pendidikan masih rendah, yaitu kurang dari 20 %.

Untuk itu, mari kita mengambil momentum peringatan Hari Braille Dunia 4 Januari ini, menggugah hati dan pikiran semua pihak; keluarga, orang tua, pemerintah, terutama pemerintah   daerah, agar membawa anak-anak tunanetra di     seluruh penjuru negeri yang belum bersekolah ke sekolah.

Tantangan lain dalam mengajarkan anak-anak tunanetra membaca dan menulis Braille adalah, “terbatasnya ketersediaan guru-guru, termasuk guru-guru di sekolah luar biasa yang mengerti huruf Braille”. Bagaimana  sekolah  akan mengajari  anak tunanetra membaca dan menulis Braille jika di sekolah tersebut belum ada guru yang mengerti membaca dan menulis Braille? Kondisi ini terjadi bahkan di sekolah luar biasa, yang guru-guru pengajarnya berlatarbelakang pendidikan luar biasa. Kondisi ini tentu harus mendapat perhatian khusus dari Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Indonesia.

Yayasan Mitra Netra, sebagai pengembang dan penyedia layanan untuk tunanetra di bidang pendidikan siap mendukung, menyediakan buku-buku pelajaran dan buku-buku pengayaan yang dibutuhkan peserta didik tunanetra untuk belajar.

Anak-anak tunanetra, ayo sekolah. Bapak, Ibu, / Orang Tua, ayo, bawa anak-anak tunanetra kita ke sekolah. Pemangku peran dunia pendidikan, ayo, kita fasilitasi agar anak-anak Indonesia yang menyandang tunanetra dapat bersekolah dengan baik.

*Aria Indrawati.