tumpukan buku di atas meja

Kecintaan saya pada membaca dimulai ketika menginjak bangku sekolah menengah pertama. Saat itu, salah seorang kawan sekelas meminjamkan ponselnya untuk saya gunakan membaca novel dari koleksi ebook yang dia punya. Dan seketika itu juga, saya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya kepada membaca. Dihari-hari selanjutnya,tak ada hal lain yang saya lakukan selain membaca dan membaca.

Saya adalah orang dengan disabilitas netra low vision. Dahulu, saya memang suka membaca buku cetak tinta. Namun, karena keterbatasan saya, menamatkan satu buku saja sulitnya bukan main dan membuat mata saya cepat lelah. Padahal saya ingin sekali membaca buku-buku tersebut.

Karena membaca buku cetak tinta membuat saya tidak nyaman, saya beralih ke buku braille. Saya senang membaca buku braille. Tetapi, koleksi perpustakaan sekolah benar-benar membosankan. Saya tidak menemukan buku-buku yang saya inginkan. Laun, kesukaan saya pada membaca perlahan-lahan surut. Saya masih rutin ke perpustakaan sekolah dan mencari buku yang sekiranya menarik untuk dibaca. Namun, kebiasaan itu mulai memudar sebab koleksi perpustakaan sekolah seolah-olah tak pernah diperbaharui sehingga yang bercokol di raknya buku yang itu-itu saja.

Perpustakaan sekolah saya seperti kuburan ilmu pengetahuan. Buku-buku di sana berdebu, membisu, dan seolah sedang menanti waktunya untuk dipensiunkan. Telah lama mereka berdiam disana, namun tak ada seorang anak pun yang mau mengambil dan membacanya. Mungkin mereka sama bosannya dengan saya.

Buku-buku audionya pun tak jauh beda. Saya waktu itu belum memiliki perangkat sendiri untuk memutar buku audio, sehingga saya harus keperpus setiap kali ingin mendengarkan buku audio. Suara si pembaca yang mendayu-dayu seperti pengantar tidur terbaik. Lebih sering daripada tidak, saya tertidur ditengah buku audio yang sedang mengoceh. Kemudian bbangun dan kehilangan banyak dari isi buku yang terputar sejak tadi.

Lama kelamaan, saya jarang mendatangi perpustakaan sekolah. Waktu itu saya punya kegiatan baru, yakni menulis. Yang membuat kebiasaan saya menyatroni perpus benar-benar selesai sama sekali. Pun, kebiasaan baru itu betul-betul menyenangkan. Lama saya meninggalkan kegiatan membaca, hingga saya akhirnya diperkenalkan oleh buku elektronik oleh teman baru saya di SMP.

Saat itulah, saya membaca seperti tidak ada hari esok. Seperti orang kena tenun, setiap hari ponsel tak pernah lepas dari genggaman saya. Dan saya baru mengetahui kalau ada banyak ebook yang bisa diunduh dari jejaring maya. Saya langsung memburu buku-buku itu dan membacanya seperti orang kesetanan.

Kiprah saya didunia menulis disamping kegemaran membaca membuka wawasan saya yang tadinya tidak seberapa. Ketekunan saya sebagai penulis membawa saya pada satu kesadaran. Pekerjaan sebagai pengarang ataupun penulis di Indonesia tidaklah mudah. Minat baca yang rendah, persaingan, dan maraknya pembajakkan buku sudah cukup membuat para pelaku penulis kreatif dan penerbit buku nelangsa. Dan semenjak mengetahui hal itu, saya berhenti mengunduh buku elektronik ilegal yang tersebar di Internet. Kecuali buku-buku yang masa berlakunya sudah habis dan bisa di unduh oleh publik. Saya menyadari bahwa tersebarnya buku-buku elektronik di Internet yang notabene bisa diunduh oleh siapa saja akan merugikan penulis, penerbit, dan orang-orang yang terlibat dalam pengerjaan sebuah buku. Orang-orang yang membajak buku elektronik tidak membayar royalti penulis, gaji orang-orang yang bekerja dipenerbitan, dan tidak membayar pajak pada negara. Kesadaran semacam inilah yang membuat saya meringis. Karena saya juga seorang pengarang yang memiliki kekhawatiran akan pembajakkan, saya memutuskan untuk berhenti mengunduh buku elektronik ilegal di Internet. Saya memahami betul bagaimana perasaan seorang penulis yang sudah bekerja keras, lantas karyanya di comot begitu saja. Hal tersebut sangat merugikan mereka. Sulit pada awalnya, namun saya merasa saya perlu melakukannya.

Dalam mencari ilmu, penting untuk tidak merugikan orang lain. Mungkin maksud orang-orang yang membajak buku elektronik tersebut ingin membagikan ilmu karena tidak semua orang bisa membeli buku-buku tersebut. Tetapi, penulis dan penerbit juga manusia. Mereka bisa hidup karena buku-buku yang mereka jual dan produksi. Jika sumber mata pencaharian mereka dibajak, sulit bagi mereka untuk bertahan diindustri perbukuan di Indonesia. Marilah kita hargai mereka untuk tidak menikmati dan menyebarkan buku elektronik secara ilegal.

Namun, teman-teman saya banyak yang tiddak sepakat dengan hal ini. Kesulitan akses pada buku-buku elektronik yang mereka gemari membuat mereka masih gemar menikmati PDF ilegal yang tersebar di Internet. Disamping, tidak semua buku-buku populer diluar sana di cetak dalam huruf braille. Mengaksesnya juga sulit. Pun, membaca buku lebih cepat dan efisien dengan gawai. Lebih banyak lagi dari mereka yang menginginkan sesuatu yang gratis. Cara berpikir seperti inilah yang membuat mereka enggan meninggalkan kebiasaan menikmati buku elektronik ilegal yang tersebar di Internet.

Sebenarnya, bagi para penyandang disabilitas netra, mereka bukanya tidak suka membaca. Kesulitan akses pada buku-buku yang membuat mereka enggan melakoni kegiatan tersebut. Sulitnya mendapatkan buku-buku yang diinginkan, kualitas rendah buku-buku koleksi perpustakaan sekolah, dan tidak terpaparnya mereka pada buku-buku yang membuat mereka tidak terbiasa dengan keberadaan timbunan ilmu pengetahuan dalam berlembar-lembar kertas, juga dalam halaman-halaman buku elektronik. Jika kemudahan akses dan keberagaman topik bisa dijangkau oleh para penyandang disabilitas netra, maka kualitas pengetahuan mereka bisa menjadi lebih tinggi. Hal tersebut juga dapat meningkatkan cara berpikir, wawasan, dan pengetahuan yang akan membuat mereka bisa menjawab tantangan dunia perkuliahan dan pekerjaan.

Beruntung, Mitra Netra hadir dengan layanan perpustakaan digital-nya. Saya mendapat informasi ini pada tahun 2018, mengikuti sosialisasi yang dilaksanakan di sebuah universitas ternama di Bali. Ini yang saya tunggu-tunggu. Dengan mengikuti sosialisasi itu, saya bisa kembali mengakses buku-buku yang saya inginkan, dan lebih banyak lagi buku-buku baru yang saya dapatkan.

Mitra Netra cepat tanggap dengan apa yang menjadi kebutuhan para penyandang disabilitas netra, dengan menghadirkan perpustakaan digital pada transisi keberalihan cara konfensional ke teknologi digital. Dan keberadaan perpustakaan itu betul-betul bermanfaat, dan sangat-sangat diperlukan bagi penyandang disabilitas netra yang memiliki kesulitan akses pada buku-buku yang mereka perlukan dan inginkan. Keberadaan perpustakaan ini juga menekan kebiasaan para penyandang disabilitas netra mengunduh buku elektronik ilegal dari Internet.

Undang-undang sudah mengatur hal tersebut. Fasilitasi akses atas suatu ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan pengelihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.

Cuplikan UU nomor 28 tahun 2014 pasal 44 ayat 2 tentang hak cipta.

Layanan perpustakaan digital ini memungkinkan para penyandang disabilitas netra untuk mengakses buku elektronik dengan catatan bahwa mereka tidak boleh menyebarkan buku yang mereka unduh, baik kepada teman atau saudara sekalipun. Karena akses ke perpustakaan digital tersebut tidak untuk dikomersilkan. Hanya untuk koleksi pribadi. Siapapun, para penyandang disabilitas netra bisa mengakses layanan perpustakaan digital Mitra Netra tersebut asal sudah terdaftar menjadi anggota.

Dengan begitu, terpenuhilah keinginan saya untuk mendapatkan buku-buku yang saya incar sejak lama, dan lebih banyak lagi buku-buku yang saya dapatkan dari layanan perpustakaan digital tersebut. Pun juga dengan harapan saya agar para penyandang disabilitas netra ttidak lagi mengakses buku elektronik ilegal yang tersebar di jejaring maya. Sudah ada sarana dan undang-undang yang menaungi kita, jadi tidak perlu lagi mengakses buku elektronik ilegal diluar sana.

Untuk Mitra Netra, terima kasih atas layanan dan akses yang kalian berikan. Kami sangat berterima kasih atas dedikasi kalian dalam melayani dan meningkatkan kualitas hidup para penyandang disabilitas netra di Indonesia. Tanpa kalian, mungkin sulit buat kami bertahan. Tempat bernaung, belajar, sekaligus berkembang. Semoga, Mitra Netra semakin jaya dan bisa selalu melayani para penyandang disabilitas Netra di Indonesia. Mitra Netra selalu menjadi yang terbaik.

 

***

Ni Komang Yuni Lestari

Juara 2 Lomba Menulis Essai dalam Rangka Peringatan HUT ke-30 Yayasan Mitra Netra

Leave Comment