dua tangan dengan kelingking yang saling bertaut

Namanya Samirah. Aku mengenalnya sejak awal masuk SMA. Aku tidak bisa mendeskripsikan wajahnya dengan rinci karena penglihatanku kurang baik. Yang jelas, ia adalah gadis ceria yang sering tersenyum.

“Sam, boleh pinjam buku catatanmu nggak?” tanyaku pada Samirah yang duduk tepat di belakangku, “tadi penjelasan yang pertama di papan tulis udah keburu dihapus pas aku belum selesai nulis. Boleh ya aku nyalin dari buku catatanmu?”

Samirah mengangkat wajahnya dan menatapku. Meski buram, aku tahu ia sedang tersenyum. “Oke, boleh. Nanti dulu tapi ya? Aku masih ngerjain latihan soal di buku tulis sekarang.”

Aku ikut tersenyum dan mengacungkan ibu jari setelah mendengar jawaban itu. “Makasih banyak, Sam. Kamu emang yang terbaik, deh!”

Samirah terkekeh kecil. Ia kembali menunduk dan mengerjakan latihan soal yang diberikan guru matematika kami. Sembari menunggu, aku juga akan mengerjakan latihan soal terlebih dahulu.

Karena bel tanda jam pelajaran selesai berbunyi, latihan soal tadi akhirnya dijadikan PR. Sontak seisi kelas bersorak girang. Terdengar suara kursi-kursi yang bergeser nyaris bersamaan. Hampir semua teman sekelasku langsung pergi keluar kelas untuk menikmati jam istirahat.

Sementara itu, aku dan Samirah masih tetap di kursi masing-masing. Aku memutar kursiku agar dapat menghadap meja Samirah. Gadis berkerudung itu masih saja berkutat dengan soal matematika. Aku rasa ia tidak terlalu peduli dengan bel jam istirahat yang telah berbunyi.

“Kamu nggak ke kantin, Sam?”

Samirah menggeleng pelan, “Nggak. Aku bawa bekal dari rumah. Kamu sendiri kenapa nggak ke kantin? Bawa bekal juga?”

Aku menggeleng sebagai jawaban. Kebetulan hari ini aku sedang tidak bawa bekal. Sebagai gantinya, ibuku memberi uang saku. Namun jujur saja, aku merasa malas pergi ke kantin. Saat jam istirahat begini, di sana pasti sangat ramai. Aku enggan berdesakan dengan siswa-siswa lain.

“Tapi kamu bawa uang jajan nggak?” Samirah kembali bertanya.

“Bawa sih, tapi aku males ke kantin. Soalnya di sana pasti rame.”

Samirah menutup buku catatannya. Ia mengeluarkan kotak bekal yang berukuran kecil dan meletakkannya di atas meja. “Bekalku cuma dikit hari ini, Res. Gimana kalau aku temenin kamu ke kantin?”

“Eh, nggak papa kamu makan aja, Sam. Aku mau nyalin catatan matematika aja sekarang.”

Entah bagaimana, Samirah sepertinya mengerti bahwa aku bukan sekadar malas pergi ke kantin. Lebih tepatnya, aku merasa takut. Ia pun berkata akan menemani dan membantuku membeli sesuatu di kantin. Setelah itu baru ia akan makan bekalnya bersamaku.

“Ayo buruan berdiri. Kita ke kantin sama-sama,” ajak Samirah yang sudah berdiri lebih dulu, “kamu belum pernah ke kantin sama sekali kan? Padahal udah hampir satu semester kita sekolah di sini. Ayo aku kasih tahu caranya antre beli jajanan di kantin. Banyak pilihan yang menggiurkan loh di sana.”

Awalnya aku berniat untuk menolak, tapi rasa penasaran membuat tanganku bergerak menyambut uluran tangan Samirah.

Gadis berkerudung lebar itu menggandeng tanganku. Kami berjalan cepat menyusuri lorong lantai dua dan menuruni tangga agar segera sampai di kantin. Untung saja aku sudah terbiasa dengan bangunan sekolah ini. Jadi aku tidak tersandung atau terjatuh meski berjalan cukup cepat.

Kantin sekolah ada di dekat musala. Meski belum pernah jajan di sana, aku sudah sering melewatinya ketika akan salat zuhur di musala.

“Ayo kita lihat-lihat dulu, Res,” ujar Samirah. Ia melangkah lebih dulu memasuki area kantin. Aku pun memegang lengan kirinya dan mengikuti di belakang.

Kami berdesakan dengan puluhan—atau mungkin ratusan—siswa lain. Lautan manusia ini membuatku semakin merasa gugup.

Aroma-aroma lezat beraneka macam makanan mulai menggoda indra penciumanku. Ada wangi mi instan, seblak, dan sepertinya juga ada bakso. Aku tidak bisa membaca dengan jelas tulisan yang ada di kios maupun gerobak penjual, tapi dari aroma dan bentuk gerobaknya aku bisa mengidentifikasi apa yang dijual di sana.

Tukang mi instan memajang banyak mi instan di etalasenya. Tukang bakso memiliki panci besar dan mengambil kuah dengan sendok besar. Sementara tukang seblak memasak dagangannya dengan kuali besar dan aroma pedas menguar dari sana. Kalau tukang es? Ada banyak rencengan minuman kemasan saset yang digantung di atas mejanya.

Tanpa diminta, Samirah menyebutkan ada kios apa saja di kantin. Beberapa pedagang yang ramai dikerumuni tidak dapat kutebak apa dagangannya. Dan Samirah memberitahukan apa dagangan yang ramai dikerubungi itu.

“Yang sebelahnya tukang es itu nasi goreng pedas, udah siap dibungkus gitu. Ibunya bawa nasi goreng satu termos besar. Sebelahnya lagi ada tukang es teh.”

Kami masih berjalan hingga ke dekat pintu keluar. Di deretan paling ujung, aku melihat gerobak cokelat dengan panci besar di atasnya. Sang penjual mengambil isinya dengan cara menusuk dan memasukkan ke dalam plastik. Aku tebak, itu adalah tukang siomai. Karena aku sering membeli siomai saat masih SMP, jadi aku lumayan hafal bagaimana cara penjual menyiapkan pesanan pembeli.

“Itu paling ujung siomai sama batagor, Res. Kamu mau beli apa nih jadinya?”

“Hmm,” aku bergumam sebentar untuk memikirkan apa yang akan aku beli hari ini, “siomai aja deh. Beli lima ribu bisa kan ya?”

“Oke, siomai. Bisa kok beli lima ribu,” jawab Samirah seraya mengajakku berjalan ke arah gerobak tukang siomai.

Kami berdesakan mendekati gerobak warna cokelat tua itu. Saat aku dan Samirah sudah berdiri di dekat abang pedagang siomai, kami pun ditanya mau beli apa.

“Siomai apa batagor, Neng?” tanya pria itu sambil menyiapkan satu plastik baru.

Samirah mencolek lenganku, memberi kode agar aku menjawab.

“Siomai aja, Bang. Lima ribu,” jawabku buru-buru.

“Mau pake apa aja, Neng?” tanya sang penjual lagi.

“Eh, pake…”

Karena aku kebingungan, Samirah pun menjawab lebih dulu. “Adanya tinggal apa aja, Bang?”

“Ada siomai, kentang, tahu putih, kol, telor. Pare juga ada.”

Setelah tahu apa saja yang ada di dalam panci, aku pun memutuskan mau memesan apa. “Siomai sama kentang aja deh, Bang.”

Tidak butuh waktu lama, satu plastik berisi siomai, kentang, dan bumbu kacang sampai di tanganku. Setelah membayar, aku mengucap terima kasih. Lalu aku dan Samirah pergi meninggalkan area kantin.

Aku tidak bisa menahan senyum sejak menerima bungkus jajanan pertama yang aku beli di kantin sekolah. Rasanya senang sekali berhasil membeli sesuatu. Yah, walau masih dibantu oleh teman. Setidaknya aku sudah berani mencoba bukan?

Samirah pun tertawa dan menggodaku, “Cie, Resa, pertama kali jajan di kantin. Seneng banget ya?”

Aku ikut terkekeh pelan, “Haha, iya. Seneng banget kayak habis menang lomba.”

Kami tertawa bersama sambil berjalan berdampingan menuju kelas. Di kelas, kami pun menyantap makanan masing-masing sambil membicarakan tentang jajanan apa yang ingin kami beli di kantin lain kali.

“Makasih ya, Sam, udah ngajak aku ke kantin tadi,” ucapku dengan senyum mengembang, “kalau tadi nggak kamu ajak, mungkin aku nggak akan pernah berani ke kantin buat beli jajan.”

“Sama-sama, Res. Lain kali kamu pasti bisa pergi dan jajan sendiri ke kantin. Nggak ada yang serem kan di kantin?”

Aku mengangguk mengiyakan. Kantin sama sekali tidak mengerikan setelah aku mencoba pergi ke sana. Bahkan dengan kondisi mataku yang low vision, kantin tetap tidak mengerikan. Hanya pikiranku saja yang berlebihan hingga menimbulkan rasa takut.

“Pokoknya makasih banyak ya, Sam, udah ngajak dan nemenin aku jajan di kantin. Aku seneng banget, beneran deh. Nggak tahu lagi aku harus bales kebaikanmu kayak gimana.”

“Santai aja, Res. Kan kita sahabat,” tukas Samirah dengan senyum lebar yang menampakkan gigi serinya.

Ah, itu benar. Aku akan selalu mengingat itu. Namanya Samirah. Dan dia adalah sahabatku.

“Eh, iya. Aku mau pinjem buku tulis matematikamu dong, Sam.”

“Oh, iya,” Samirah mengulurkan buku tulisnya ke arahku, “ini, Res.”

 

Penulis: Yasmin Nurul Aini

Juara I Lomba Menulis Cerpen Mitra Netra Independence Day Festival 2022

Leave Comment