Setelah menjalani pemeriksaan Komnas HAM karena tertangkap tangan melakukan diskriminasi terhadap penumpang penyandang disabilitas,manajemen Batavia Air melakukan pertobatan dengan menyelenggarakan diskusi tentang layanan penerbangan yang ramah dan aksesibel pada penumpang penyandang disabilitas.

Demikian pesan singkat dari Saharuddin Daming, tunanetra komisioner Komnas HAM, kepada para pemimpin organisasi penyandang disabilitas pada akhir April 2011.

Saat akan terbang dari Gorontalo ke Jakarta bersama staf Komnas HAM, Saharuddin Daming mengalami perlakuan diskriminatif oleh petugas kabin Batavia Air. Kejadian ini kemudian dijadikan momentum Saharudin untuk bertemu dan berdialog dengan manajemen perusahaan penerbangan tersebut dan mendorong dilakukan perbaikan layanan kepada penumpang dengan disabilitas.

Pada waktu hampir bersamaan, Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) mengirim surat kepada para pemimpin dan aktivis organisasi disabilitas tentang surat Ridwan Sumantri, pengguna kursi roda, kepada Ketua Komnas HAM. Ridwan juga mengalami perlakuan diskriminatif petugas Lion Air, saat akan terbang dari Jakarta ke Denpasar pada pertengahan April 2011.

Standar Layanan Internasional

Bepergian sendiri menggunakan jasa penerbangan di dalam negeri bagi penyandang disabilitas sering kali menggelisahkan, bahkan menakutkan. Bagi saya, sebagai tunanetra, melakukan perjalanan ke luar negeri sendirian justru lebih ringan dan nyaman. Sebab, perusahaan penerbangan asing memperlakukan penumpang penyandang disabilitas dengan sangat baik. Tidak demikian dengan perlakuan perusahaan penerbangan domestik.

Di dunia internasional, disabilitas telah diterima sebagai bagian dari perbedaan. Hal ini dicantumkan secara eksplisit pada Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas dan mewujud dalam standar layanan di bidang apa pun, termasuk standar layanan penerbangan.

Penyandang disabilitas bepergian sendiri adalah hal biasa. Telah ada standar layanan yang bersifat universal, yang harus dipatuhi penyedia layanan. Jika ada penumpang berkebutuhan khusus atau biasa disebut special passanger, misalnya penyandang disabilitas, lanjut usia, atau anak-anak yang bepergian sendiri, perusahaan penerbangan harus memberikan layanan khusus sesuai kebutuhan penumpang tersebut. Layanan ini bersifat cuma-cuma. Artinya, tidak mengakibatkan tambahan biaya apa pun.

Layanan khusus dimulai saat penumpang memasuki ruang check in. Petugas penjaga pintu bandar udara harus membantu penumpang berkebutuhan khusus menuju counter check in. Di sini, penumpang memberitahukan kepada petugas check in bahwa ia menyandang disabilitas, apa pun jenisnya, serta membutuhkan bantuan khusus.

Petugas biasanya sudah tahu apa yang harus dilakukan, karena telah mendapatkan pelatihan cara membantu penumpang penyandang disabilitas. Misalnya, jika pengguna kursi roda, akan ditempatkan di kursi bagian depan, sehingga tidak menyulitkan penumpang ataupun petugas yang memberikan bantuan. Jika penumpang tunanetra akan dibantu pengisian dokumen yang diperlukan.

Saat proses check in, petugas menghubungi bagian customer service untuk menginformasikan ada penumpang berkebutuhan khusus serta meminta petugas membantu penumpang menjalani proses selanjutnya, yaitu menuju bagian imigrasi, pemeriksaan X-ray, sebelum memasuki ruang tunggu, menuju ruang tunggu, hingga masuk pesawat. Bahkan, jika penumpang hendak membeli sesuatu, makanan misalnya, atau perlu ke toilet pun, petugas yang ditunjuk wajib mengantar.

Seusai membantu penumpang berkebutuhan khusus melakukan check in, petugas counter check in akan memberi tahu petugas darat di bandara kota tujuan bahwa akan ada penumpang berkebutuhan khusus. Petugas darat setempat harus menyiapkan untuk memberikan bantuan yang diperlukan.

Penumpang berkebutuhan khusus selalu memasuki pesawat terlebih dahulu atau pre-boarding. Begitu memasuki pesawat, tanggung jawab memberikan bantuan beralih dari staf darat (ground staff) ke kru pesawat. Pramugari atau pramugara akan mengantar penumpang disabilitas ke kursinya, lalu memberikan penjelasan awal sebelum semua penumpang memasuki pesawat. Penjelasan awal meliputi letak baju pelampung dan cara menggunakannya, letak masker oksigen dan cara menggunakannya, serta letak pintu darurat dan toilet.

Jika penumpang tunanetra, penjelasan itu harus dideskripsikan dengan jelas serta dirabakan. Untuk menginformasikan posisi pintu darurat dan toilet, petugas kabin membantu menghitung berapa kursi jaraknya dari tempat duduk penumpang tunanetra. Beberapa perusahaan penerbangan menyediakan fasilitas informasi prosedur keselamatan penerbangan dalam huruf Braille, sehingga penumpang tunanetra dapat membacanya sendiri.

Jika ada penumpang tunarungu, staf perusahaan penerbangan wajib memberikan informasi apa pun dalam bahasa yang dapat dimengerti. Misalnya, untuk memberitahukan saat naik ke pesawat (boarding), sehingga penumpang tunarungu tidak tertinggal.

Sesampai di kota tujuan, petugas darat bandara setempat menjemput penumpang berkebutuhan khusus di pintu pesawat. Saat itu tanggung jawab memberikan bantuan beralih dari petugas kabin ke petugas darat. Petugas darat membantu penumpang disabilitas menjalani semua proses: imigrasi, pengambilan bagasi, hingga menuju pintu kedatangan dan bertemu penjemput penumpang disabilitas.

Di bandara-bandara yang sangat modern seperti di Singapura dan Thailand, pengguna kursi roda yang memiliki hambatan mobilitas disediakan fasilitas mobilitas khusus jika harus naik atau turun di areal bandara.

Dengan semua bantuan tersebut, tidaklah menjadi masalah bagi penyandang disabilitas jika harus bepergian sendiri.

Bagaimana di Indonesia?

Perlakuan buruk yang dialami komisioner Komnas HAM yang tunanetra itu merupakan representasi pengalaman penyandang disabilitas lainnya. Penyandang disabilitas dianggap sama dengan orang sakit, sehingga saat melakukan perjalanan menggunakan transportasi udara diwajibkan menandatangani surat pernyataan, yang seharusnya diperuntukkan bagi penumpang yang sakit.

Di bawah ini petikan dari surat pernyataan yang harus saya tanda tangani saat terbang dari Padang ke Jakarta pada Februari 2011 menggunakan Wings Air.

Pengangkutan ini dilakukan tanpa mempertimbangkan kesehatan orang yang diangkut dengan pernyataan ini, selanjutnya disebut penumpang.

  • Segala akibat buruk dari pengangkutan bagi kesehatan penumpang, termasuk luka-luka, sakitnya bertambah berat, bahkan juga kematiannya, adalah di luar tanggung jawab pengangkutan, kecuali akibat buruk bagi kesehatan penumpang itu kalau kematiannya disebabkan oleh sesuatu kecelakaan atau kejadiannya yang tidak ada hubungannya dengan keadaan jasmani dan rohani, atau karena kesalahan dari pengangkut.
  • Ia akan membebaskan pengangkut, termasuk agen serta pegawai mereka dari tuntutan, kerugian atau biaya yang mungkin timbul dari pengangkutan ini; bagi kesehatan penumpang, bahkan pula kematiannya.
  • Ia akan mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan pengangkut berhubung dengan akibat buruk pengangkutan ini bagi kesehatan penumpang atau kamatiannya.

Perlakuan salah yang dialami Ridwan Sumantri, pengguna kursi roda dari PPCI, juga mewakili pengalaman para pengguna kursi roda di Indonesia. Dia diminta menandatangani surat pernyataan, yang oleh staf perusahaan penerbangan, baik staf darat maupun staf kabin, selalu dikatakan, Kami hanya menjalankan prosedur yang ditetapkan oleh perusahaan kami atau ini sekadar pemberitahuan untuk awak kabin. Jika itu memang pemberitahuan, seharusnya disampaikan dalam redaksi yang benar dan sesuai.

Selain diminta menandatangani surat pernyataan, Ridwan juga menerima perlakuan-perlakuan salah lainnya. Saat akan memasuki pesawat, seharusnya dia didahulukan sebelum penumpang lain. Namun, tak ada seorang pun staf darat yang membantunya. Untuk menuju ke pesawat dari ruang tunggu, penumpang harus menuruni anak tangga. Tak ada lift. Ini tentu menyulitkan Ridwan yang menggunakan kursi roda. Tak ada petugas yang secara khusus ditugasi untuk membantunya.

Akhirnya Ridwan menemukan seorang berseragam — petugas bandara — yang kemudian diminta membantu menuruni tangga. Caranya, petugas itu menarik kursi roda berjalan mundur. Dapat dibayangkan, betapa sulit dan tentu sangat berisiko. Setelah berhasil menuruni tangga, Ridwan harus masuk ke pesawat dengan cara menaiki tangga. Dibutuhkan dua petugas untuk menggotong Ridwan yang duduk di kursi roda untuk sampai pintu pesawat. Di dalam pesawat, dia harus digendong menuju kursinya, karena mendapat kursi nomor 23. Padahal, seharusnya dia ditempatkan di kursi bagian depan. Saat digendong menuju kursinya, Ridwan harus berkali-kali minta maaf, karena kedua kakinya menyentuh bahu para penumpang yang dilewati. Adegan menggendong Ridwan di dalam pesawat ini seharusnya tidak terjadi jika pihak perusahaan penerbangan memfasilitasi dengan kursi roda khusus yang dapat melewati jalan di dalam pesawat, biasa disebut I-L wheel chair.

Janji Perbaikan Layanan

Secara kebetulan perlakuan diskriminatif perusahaan penerbangan terhadap penumpang penyandang disabilitas dialami komisioner Komnas HAM. Ini untuk kali kedua Saharuddin Daming mengalaminya. Sebelumnya, dia mendapatkan perlakuan diskriminatif perusahaan penerbangan milik pemerintah.

Seperti sebelumnya, Komnas HAM juga memanggil pemimpin perusahaan penerbangan untuk memberikan penjelasan mengapa layanan penerbangannya tidak menghargai penumpang penyandang disabilitas. Dari hasil pemeriksaan Komnas HAM, pihak perusahaan bersedia mengadakan dialog dengan perwakilan organisasi penyandang disabilitas untuk melakukan perbaikan layanan penerbangan yang ramah kepada penyandang disabilitas.

Dialog diselenggarakan di kantor Batavia Air pada 27 April 2011. Dialog dihadiri tiga anggota Dewan Direksi Batavia Air didampingi para staf terkait, Saharudin Daming mewakili Komnas HAM, dan pemimpin organisasi penyandang disabilitas dari kelompok tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan multidisabilitas.

Dialog diawali pengantar dari Komnas HAM, memaparkan regulasi layanan penerbangan, terutama dari perspektif hukum internasional, hak asasi manusia, hak konsumen, Undang-undang Pelayanan Publik, serta Undang-undang Transportasi. Para wakil penyandang disabilitas juga memaparkan perlakuan diskriminatif yang sering dialami penyandang disabilitas saat bepergian dengan sarana transportasi udara. Mereka juga memberikan masukan konstruktif bagaimana seharusnya layanan untuk penyandang disabiltas.

Pada akhir dialog, Direktur Niaga Batavia Air, Sukirno, berjanji akan menindaklanjuti pertemuan tersebut dalam bentuk penyempurnaan kebijakan dan standar operasional layanan sesuai dengan masukan perwakilan organisasi penyandang disabilitas.

Saat berbincang khusus dengan diffa di ruang kerjanya, Sukirno, yang mantan General Manager Kantor Garuda di Cengkareng, mengaku gembira dapat berdialog dengan komunitas penyandang disabilitas. Dia berjanji akan melakukan sosialisasi ke seluruh jajaran perusahaan mengenai kebijakan baru serta memonitor pelaksanaannya. Sukirno juga mengharapkan partisipasi penyandang disabilitas untuk memantau pelaksanaan kebijakan baru tersebut serta memberikan masukan dan informasi jika ada penyimpangan di lapangan.

Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), di negara sedang berkembang seperti Indonesia, rata-rata jumlah penyandang disabilitas 10 persen dari jumlah penduduk. Berarti di Indonesia terdapat sekitar 23 juta warga negara penyandang disabilitas. Dari jumlah tersebut, jika 1 persen saja memiliki kemampuan melakukan perjalanan menggunakan transportasi udara, berarti ada 230 ribu orang. Ini potensi pasar yang luar biasa. Jika perusahaan penerbangan melayani penyandang disabilitas dengan baik, berarti mereka membangun loyalitas para penyandang disabilitas untuk terus menggunakan jasa penerbangan yang ramah disabilitas. *Aria Indrawati

Leave Comment