Catatan Kecil Dari DR Asep Supena
(Pakar Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Jakarta).

Pelaksanaan pendidikan di SLB memang masih menghadapi sejumlah persoalan. Saya sependapat bahwa tunanetra yang cukup cerdas sebaiknya difasilitasi untuk menempuh pendidikan di sekolah regular secara inklusif. Hal ini terutama untuk siswa tunanetra pada tingkat SMP dan atau SMA.

Alasan yang melatarbelakangi pemikiran ini karena tunanetra yang memiliki kecerdasan cukup, apalagi yang di atas rata-rata, sangat mungkin untuk melanjutkan studi ke tingkat perguruan tinggi. Dan untuk bisa mendaftar ke perguruan tinggi, mereka harus berasal dari SMA umum- atau yang biasa disebut SMA inklusif. Kenapa begitu? Karena kurikulum SMA Luar biasa atau SMALB untuk tunanetra (SMA yang ada di SLB untuk tunanetra) tidak sama dengan kurikulum SMA regular. Kurikulum SMALB tunanetra lebih banyak mengandung muatan keterampilan daripada akademik. Artinya, siswa SMALB tunanetra tampaknya lebih dipersiapkan untuk menguasai keterampilan yang akan bermanfaat untuk kehidupan di masyarakat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tunanetra yang memiliki kemampuan akademik relative kurang dan diprediksi tidak dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi, lebih disarankan berada di SMALB daripada di SMA regular. Pertimbangan yang melatarbelakangi pemikiran ini adalah karena SMALB akan lebih bermanfaat secara fungsional bagi mereka daripada SMA regular.

Untuk melengkapi catatan kecil saya ini, silakan para pembaca cermati tentang isi kurikulum SLB tunanetra, kemudian bandingkan dengan kurikulum yang ada di sekolah umum. Pada tingkatan SD, kurikulum SLB tunanetra hampir sama atau sama persis dengan kurikulum SD umum. Tetapi untuk tingkatan SMP sudah mulai berbeda. Muatan keterampilan lebih diperbanyak di kurikulum SMPLB, dan untuk kurikulum SMALB jumlah muatan keterampilan lebih diperbanyak lagi, bahkan porsinya lebih banyak daripada muatan akademik.

Untuk tingkatan TK (persiapan) dan SD, sementara ini saya berpendapat bahwa tunanetra sebaiknya berada di SLB. Paling tidak ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, karena kurikulum yang digunakan di SDLB dan SD umum adalah sama, jadi tidak ada bedanya mereka belajar di SD umum atau di SLB. Alasan kedua yang lebih mendasar adalah karena tunanetra pada usia TK dan SD membutuhkan pelayanan khusus untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi khusus yang diperlukan sebagai modal untuk belajar dan berinteraksi dengan dunia luar. Misalnya kemampuan baca tulis Braille, kemampuan orientasi dan mobilitas, penanaman konsep-konsep yang membutuhkan peralatan dan strategi khusus. Hal-hal tersebut umumnya tidak tersedia di SD umum dan hanya ada di SLB.

Pertanyaannya adalah, apakah seperti itu format kurikulum SLB yang dianggap ideal? Ini masih merupakan pertanyaan penting yang harus terus dikaji dan didiskusikan. Prinsip dasar yang perlu dipahami adalah bahwa SLB dan sekolah umum harus memiliki keseteraan dan memberi peluang yang sama bagi tunanetra untuk berkembang dan mewujudkan potensinya, baik secara akademik maupun psikomotorik (skill). Ke depan mungkin perlu diwacanakan agar SMPLB dan SMALB memiliki keseteraan akademik dengan SMP/SMP umum.

Bagaimana dengan ujian nasional (UN)? Jika ujian nasional adalah kebijakan pemerintah yang harus dijalankan, maka prinsipnya tetap bisa dilakukan juga di SLB dengan catatan soal-soalnya harus merujuk kepada standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang berlaku di SLB. Artinya, jika kurikulum SMPLB tidak sama dengan kurikulum SMP umum, maka seharusnya soal-soal UN-nya juga tidak sama, karena soal UN harus berangkat dari kurikulum yang diberlakukan. Apalagi untuk tingkatan SMALB, karena kurikulum mereka semakin berbeda lagi dibanding kurikulum SMA umum. Ini adalah prinsip dasar yang harus dijadikan acuan.

Leave Comment