Tiap tahun negara kita dihebohkan oleh satu peristiwa, yang berlangsung antara bulan April dan Mei, yaitu Ujian Nasional atau UN. Banyak pandangan pro dan kontra soal UN ini. Sebagian pakar pendidikan menolak keras UN, karena dianggap telah memperlakukan murid secara tidak adil, dan tidak mendidik. Sebagian lainnya, terutama pakar pendidikan yang ada di dalam tubuh Kementerian Pendidikan bersikeras UN penting, dengan alasan sebagai standar nasional kelulusan siswa.

Belum lagi soal kebocoran soal, usaha segala cara kepala sekolah untuk memenuhi target kelulusan, dan sebagainya. Namun, hampir tak ada orang bicara soal UN bagi siswa tunanetra.

Saat ini, pendidikan anak tunanetra diselenggarakan dengan dua cara. Pertama, sistem segregatif, yaitu tunanetra belajar di sekolah luar biasa (SLB-A); ini merupakan sistem pendidikan yang telah dikenal masyarakat luas. Kedua, tunanetra menempuh pendidikan di sekolah umum, yang merupakan rintisan penerapan sistem pendidikan inklusif; tunanetra memiliki hak untuk belajar di sekolah umum bersama anak yang tidak tunanetra.

Karena SLB ini memang dirancang khusus untuk tunanetra, maka dapat dikatakan segala hal dirancang khusus untuk tunanetra. Materi pembelajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, dan sebagainya.

Namun, informasi sangat mengejutkan muncul di beberapa media nasional minggu lalu, saat berlangsungnya UN untuk siswa tingkat SMP. Media menemukan ada SLB untuk tunanetra di Jogjakarta — SLB-A Yaketunis (Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam) – yang tidak menyediakan naskah UN dalam huruf Braille. Sungguh ini sebuah tragedi. Jika di sekolah khusus untuk tunanetra sekolah tidak memfasilitasi siswa tunanetra dengan kebutuhan khususnya, lalu bagaimana jadinya ketika siswa tunanetra bersekolah di sekolah umum?

Untuk mendapatkan informasi lebih akurat, apakah hal ini terjadi di seluruh SLB atau hanya di SLB Yaketunis saja, saya mencoba menghubungi teman-teman guru SLB di beberapa propinsi berbeda. Informasi yang saya dapat pun beraneka ragam.

Dari SLB YPAB Surabaya, seorang guru tunanetra mengatakan bahwa di Jawa Timur soal UN untuk tunanetra senantiasa dibuat dalam huruf Braille. Teman guru tersebut bahkan merupakan salah satu anggota tim yang bertugas mengedit soal bahasa Inggris.

Dari SLB Karya Murni Medan, Ibu Kepala Sekolah menginformasikan bahwa tahun ini untuk pertama kalinya naskah UN bagi tunanetra dibuat dalam huruf Braille di Medan. Dari SLB YAPTI Makasar, seorang guru tunanetra menceritakan bahwa di seluruh sulawesi selatan sejak dulu tak pernah ada naskah UN dalam huruf Braille bagi siswa tunanetra. Sementara dari Jawa Barat, teman dari SLB Citereup Cimahi menyatakan bahwa di SLB tersebut soal UN selalu dibuat dalam huruf Braille.

Nampaknya tak ada keseragaman dalam pelaksanaan UN di SLB-A. Masing-masing punya argumentasi sendiri, mengapa menyediakan naskah UN dalam Braille dan mengapa tidak.

Saat wartawan bertanya kepada pihak kementerian, baik wakil menteri maupun dirjen pendidikan dasar mengatakan bahwa, karena jumlah siswa tunanetra di SLB hanya sedikit, maka demi alasan kepraktisan soal UN tidak dibuat dalam naskah Braille. Sungguh jawaban yang sangat tidak memiliki perspektif pendidikan. Saat saya menginformasikan hal ini kepada sekretaris pribadi Mendikbud yang juga staf ahlinya di bidang budaya dan ekonomi, ia mengatakan akan menyampaikan informasi ini kepada unit terkait di kemendikbud.

Ratusan unit mesin cetak Braille diimpor dari luar negeri, dan didistribusikan ke ratusan SLB di seluruh Indonesia. Untuk apa semua itu? Jika saat siswa tunanetra mengikuti UN tak ada naskah Braille untuk mereka? Saat kepala sekolah SLB Yaketunis Jogjakarta ditanya wartawan mengapa tak ada naskah UN dalam Braille, ia menjawab takut terjadi kebocoran saat memproses dalam Braille tersebut. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, SLB yaketunis senantiasa menyediakan naskah Braille saat UN.

Belum lagi soal materiujian. Beberapa guru SLB mengeluhkan adanya soal dalam bentuk gambar bagi siswa tunanetra di SLB. Tidakkah para pembuat soal itu mengetahui bahwa tunanetra tak dapat membaca gambar? Jika soal semacam ini ada di sekolah umum, tentu masih dapat dimaklumi. Namun, jika ada soal dalam bentuk gambar untuk siswa tunanetra di SLB-A, itu benar-benar menunjukkan bahwa mereka yang membuat soal UN itu hanya asal membuat soal saja, tanpa memperhatikan untuk siapa soal ujian itu.

Ujian nasional memang proyek besar. Dikabarkan proyek ini bernilai lebihd ari 500 miliar. Ada banyak pihak yang mendapatkan keuntungan materi dari proyek UN ini. Itu sebabnya, mungkin, mereka berkeras UN harus terus dijalankan. Mereka tak peduli, bahwa proyek UN ini telah merusak moral hampir seluruh stake holder pendidikan. Guru, kepala sekolah, orang tua, dinas pendidikan, dan sebagainya. Semua mengejar target kelulusan tinggi. Dan untuk itu, mereka dapat menghalalkan segala cara. Pendidikan ketidakjujuran itu diajarkan secara gamblang di depan mata anak-anak.

Dengan tidak dipenuhinya kebutuhan khusus tunanetra dalam menjalani UN, adalah indikator kuat bahwa para pengurus bidang pendidikan di negeri ini memang belum menempatkan pendidikan anak tunanetra sebagai prioritas. * Aria Indrawati.

Leave Comment