Tulisan ini dibuat untuk menanggapi hasil kerja panitia kerja RUU disabilitas komisi VIII DPR RI, yang masih ingin menempatkan kementerian sosial sebagai satu-satunya leading sector dalam pemberdayaan warga negara penyandang disabilitas di Indonesia.

Analisa Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas (draft versi 3 September 2015) yang menjadikan Kementerian Sosial sebagai leading sector isu disabilitas

LANGKAH MUNDUR RUU PENYANDANG DISABILITAS

Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas (draft versi 3 September 2015) menyebutkan dengan tegas bahwa “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial”. Dengan kata lain, ketentuan itu menyatakan bahwa leading sector dari isu disabilitas adalah Kementerian Sosial. Pengaturan itu sangat bermasalah, karena bertentangan dengan 3 hal sekaligus, yaitu pertama, bertentangan dengan tujuan pembentukan UU Penyandang Disabilitas; Kedua, bertentangan dengan berbagai ketentuan UU lain; dan Ketiga, bertentangan juga dengan substansi dari RUU Penyandang Disabilitas itu sendiri.

Ditetapkannya Kementerian Sosial sebagai leading sector melanggar tujuan dari diubahnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Tujuan yang dimaksud adalah sesuai yang tercantum dalam konsiderans huruf b RUU Penyandang Disabilitas, yang menyatakan bahwa,

“keberadaan Penyandang Disabilitas sebagai bagian yang tak terpisahkan dari warga Negara dan masyarakat Indonesia adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dalam dirinya melekat potensi dan hak asasi sebagai manusia seutuhnya untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat tanpa pembatasan, hambatan, kesulitan, pengurangan atau penghilangan hak dari siapapun, dimanapun, dan dalam keadaan apapun”

Dengan tujuan itu, maka pengaturan dalam RUU Penyandang Disabilitas tidak lagi hanya bisa fokus pada sektor sosial, seperti apa yang diatur oleh UU 4/1997, tetapi harus bergeser untuk menempatkan isu disabilitas sebagai isu Hak Asasi Manusia. Dalam perspektif itu, maka pemenuhan hak penyandang disabilitas tidak bisa hanya dibatasi pada satu Kementerian saja, tetapi sudah harus dipandang sebagai isu lintas Kementerian.

Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 1 angka 18 tersebut, maka RUU Penyandang Disabilitas sudah kehilangan ruh aslinya, yang mencerminkan aspirasi dari para warga negara disabilitas di Indonesia. Selain itu, Pasal 1 angka 18 juga sudah mengingkari atau bertentangan dengan perkembangan hukum dan politik yang sudah berjalan, yaitu pada UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of People with Disabilities, yang sudah mengubah cara pandang terhadap disabilitas dari charity based menjadi human rights based, dan Perpres Nomor 75 tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), yang sudah memasukan isu disabilitas dalam isu HAM.

Ketentuan Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas tidak sinkron dengan ketentuan dalam berbagai Undang-undang lain. Hasil riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyatakan bahwa isu disabilitas sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mencakup 19 sektor yang berbeda, dan 18 sektor diantaranya sudah diatur dalam Undang-undang tersendiri. Data itu menunjukan bahwa banyak sektor, atau dalam hal ini Kementerian/Lembaga, yang memiliki tugas atau kewenangan dalam isu disabilitas, bukan hanya Kementerian Sosial. Berikut diagram yang menunjukan 19 sektor terkait dengan disabilitas dan jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur di masing-mmasing sektor,

Pasal 1 angka 18 RUU Penyandang Disabilitas juga tidak sinkron dengan ketentuan lain dalam RUU Penyandang Disabilitas sendiri. Dari awal RUU Penyandang Disabilitas mengatur banyak sektor terkait, sehingga pelaksanaannya harus dilakukan secara lintas Kementerian/Lembaga. Cara pengaturan itu berbeda jauh dengan UU nomor 4/1997, sehingga penempatan Kementerian Sosial sebagai leading sector seperti dilakukan dalam UU 4/1997 sudah tidak relevan lagi untuk dianut dalam RUU Penyandang Disabilitas. Bahkan apabila Pasal 1 angka 18 tetap dipertahankan, maka sudah dapat dipastikan seluruh ketetuan dalam RUU Penyandang Disabilitas, kelak apabila sudah disahkan menjadi UU Penyandang Disabilitas, tidak akan mampu diimplementasikan. Hal itu dapat dipastikan karena Kementerian/Lembaga lain, yang sebenarnya memiliki keterkaitan, tidak merasa bertanggungjawab. Sedangkan Kementerian Sosial yang diberikan tanggungjawab selalu tidak mampu menuntaskannya karena memang diluar tugas dan fungsinya sendiri, yang dalam Perpers Nomor 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosialhanya mencakup rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin. Oleh karena itu, Kementerian Sosial tidak akan dapat menyentuh urusan transportasi umum, pendidikan, kesehatan, perlindungan hukum, tenaga kerja, dan aspek lainnya yang diatur dalam RUU Penyandang Disabilitas.

Dari keseluruhan penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Pasal 1 angka 18 wajib dihapuskan.Tidak adanya ketentuan itu bukan berarti tidak ada Kementerian/Lembaga yang menindaklanjuti ketentuan dalam RUU Penyandang Disabilitas kelak setelah menjadi UU, karena dalam pengaturannya RUU Penyandang Disabilitas sudah memberikan kluster atau pengelompokan berdasarkan kepada sektor Kementerian/Lembaga yang ada. Hal itu akan mempermudah dalam melakukan tindak lanjutnya. Hal serupa dilakukan pula oleh UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak, yang juga tidak menentukan Kementerian/Lembaga khusus untuk menjadi leading sector. Dengan begitu, terbukti bahwa tanggungjawab berada pada setiap Kementerian/Lembaga yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan disabilitas, dan berjalan lebih efektif.

Hal yang perlu diatur dalam RUU Penyandang Disabilitas justru adalah penentuan organ dalam Pemerintah sebagai koordinator untuk isu disabilitas. Agar mekanisme kerja yang melibatkan lintas Kemeterian/Lembaga dapat berjalan selaras dan mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, pada draft awal RUU Penyandang Disabilitas usulan masyarakat sudah diatur bahwa mekanisme koordinasi antar Kementerian merupakan kewenangan Wakil Presiden.

Sebab lainnya mengapa ketentuan dalam Pasal 1 angka 18 masuk dalam RUU Penyandang Disabilitas adalah alat kelengkapan yang mempersiapkan draftnya, yaitu Komisi VIII yang bermitra kerja dengan Kementerian Sosial. Hal itu ternyata berpengaruh karena pihak yang mempersiapkan tidak dapat mengubah pola pikir lama, dengan menempatkan isu disabilitas hanya dari aspek sosial saja. Oleh karena itu, perubahan tidak hanya dapat dilakukan dari substansi RUU, tetapi juga dari proses yang dijalani. Dalam konteks itu, proses pembahasan RUU Penyandang Disabilitas kedepan harus dilakukan oleh Panitia Khusus (Pansus), yang tidak hanya terdiri dari Komisi VIII, tetapi dari Komisi dan alat kelengkapan DPR RI lainnya. Dengan begitu, pembahasan akan lebih obyektif dan mempertegas posisi isu disabilitas sebagai isu multisektor. *Fajri Nursyamsi – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan.

Leave Comment