Tanggal 17 Desember 2013 adalah momentum penting bagi gerakan disabilitas di Indonesia. Pada hari itu, sidang pleno DPR RI memutuskan untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) disabilitas ke program legislatif Nasional (Prolegnas) 2014. Naskah RUU yang diusulkan oleh komunitas penyandang disabilitas yang dikoordinatori oleh Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) menjadi inisiatif DPR.

Sebelum mencapai hasil yang menggembirakan tersebut, road show ke pelbagai kelengkapan kerja DPR dilakukan oleh beberapa tokoh penyandang disabilitas. Mulai dari bertemu anggota Badan Legislatif Nasional (Balegnas), dilanjutkan dengan bertemu pimpinan atau anggota fraksi. Dari 9 fraksi yang ada, baru enam yang menerima audiensi yang dimohonkan oleh PPDI. Mereka adalah fraksi PKB, Gerindra, Hanura, PAN, PKS dan Demokrat. Sedangkan, tiga fraksi yang belum menerima permohonan audiensi adalah PDI Perjuangan, Golkar dan PPP.

Di tengah upaya bertemu ketiga fraksi yang belum menyatakan kesediaan menerima wakil penyandang disabilitas, berita gembira datang dari komisi 8 yang membidangi kesejahteraan sosial. Dalam rangka memperingati Hari hak Asasi Manusia 10 Desember, komisi 8 DPR RI sepakat bertemu dengan wakil-wakil penyandang disabilitas untuk membahas usulan RUU disabilitas. Seluruh anggota komisi 8 yang hadir pada pertemuan itu dihadiri oleh 8 fraksi, hanya fraksi PDI Perjuangan yang tidak hadir, bersepakat bahwa RUU disabilitas ini harus menjadi salah satu prioritas prolegnas 2014. Salah satu anggota komisi 8 dari fraksi PAN bahkan sempat menegaskan bahwa untuk memproses RUU disabilitas ini, perlu dibentuk “panitia Khusus (pansus)”, mengingat isu disabilitas adalah isu lintas sektor, jadi tak bisa dibahas sendiri oleh Komisi 8.

Perjalanan yang harus ditempuh masih panjang setelah RUU disabilitas masuk ke prolegnas 2014 dengan nomor urut 52 dari 66 RUU yang masih harus dibahas DPR hingga akhir periode masa bakti mereka. Pada saat bersamaan, masa kerja DPR tingal 150 hari lagi, terhitung mulai Januari hingga September 2014. Begitu singkat. Dari Januari hingga September, DPR hanya punya tiga kali masa persidangan. Pertama 15 Januari hingga 6 Maret; Kedua 12 Mei hingga 10 Juli, dan ketiga yang terakhir 16 Agustus hingga 30 September. Masa reses terpanjang adalah reses menjelang pemilu legislatif. Menurut data Kompas, 90% anggota DPR periode 2009-2014 kembali mencalonkan diri di pemilu legislatif 9 April 2014.

Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh kelompok kerja (pokja) RUU disabilitas bentukan PPDI yang diketuai oleh Ariani Sukanwo – tokoh perempuan tunanetra senior. Pertama, menyempurnakan naskah RUU disabilitas agar sesuai dengan format Undang-Undang yang digariskan oleh sistem peraturan perundangan di Indonesia. Penyempurnaan ini penting, untuk memudahkan proses di Panitia Khusus (pansus) yang akan dibentuk kemudian. Ditargetkan bahwa konten RUU ini akan beres di pembahasan tingkat pertama, yaitu pada masa persidangan pertama, sehingga dapat masuk ke pembahasan tahap kedua di masa persidangan kedua 2014. Pada pembahasan tingkat dua inilah DPR akan memanggil pemerintah. Dan pembahasan tingkat kedua ini yang diperkirakan paling kritis. Namun demikian, dengan dukungan dan kontrol dari seluruh elemen masyarakat yang kian hari kian memahami pentingnya perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia.

Era baru akan segera tiba. Itulah Era disaat perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak para penyadang disabilitas di Indonesia sama dengan hak-hak warga negara lain yang tidak menyandang disabilitas. Konvensi PBB tentang hak penyandang disabilitas yang telah diratifikasi pemerintah RI dengan Undang-Undang nomor 19 tahun 2011 mengamanahkan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan 26 hak bagi para penyandang disabilitas. Dan RUU disabilitas yang akan dibahas di DPR nanti juga berlandaskan konvensi PBB tersebut.

Di era baru nanti, Pemberdayaan penyandang disabilitas akan berlandaskan hak asasi manusia, bukan lagi karitatif. Dan untuk mewujudkan prinsip itu, perlu perubahan paradigma yang sangat mendasar. Indonesia harus mulai, jika tak ingin tertinggal oleh bangsa lain. Salah satu tolok ukur tingkat peradaban satu negara adalah bagaimana masyarakat dan pemerintah negara tersebut memperlakukan para penyandang disabilitas. Jika diperlakukan dengan baik, dilindungi, dihormati dan dipenuhi hak-hak mereka, maka negara tersebut telah mencapai peradaban yang tinggi. *Aria Indrawati.

Leave Comment