Beberapa gelas dan botol di atas meja

Gelas berisi jus terong belanda itu dalam sedetik saja sudah jatuh ke lantai. Cairan ungu kemerahan dan serakan beling yang pecah terlihat dengan jelas. Aku menutup wajah, kemudian memilih untuk menarik tangan Sisia. Perempuan yang kutarik itu malah tersenyum tanpa dosa. Ekspresinya membuat aku entah mengapa tertawa. Tertawa di atas tagihan ganti rugi yang harus kami bayar, dan tertawa di bawah tatapan seluruh orang yang memandang kami dengan heran. Pesta ulang tahun Aris, teman sekelas sekaligus ketua himpunan kami mendadak terasa seperti ajang penghakiman bagiku dan Sisia. Seolah semua orang mau bilang, kenapa sih bawa orang buta ke pesta?

“Maaf … maaf …” Sisia berucap dengan nada terdengar seperti tidak merasa bersalah.

Wajahnya tetap dengan senyum tanpa dosa yang sama. Aku ikut cengengesan sambil menangkupkan tangan di depan dada pada teman-teman lain, ikut meminta maaf mewakili Sisia yang mencipta kekacauan. Aris mengangguk maklum, Dinda tersenyum, dan sebagian lain malah membuang wajah. Sinis sekali. Hatiku lumayan sakit. Tanpa menghiraukan Sisia yang bertanya mengapa kami menjauh dari meja tempat teman-teman lain berkumpul, aku berjalan menuju kasir.

“Kita mau ke mana?” Sisia tidak berhenti bertanya.

“Gelas yang pecah mau diganti,” kataku.

Sisia tertawa kecil. Ia merogoh saku, dan memberi banyak uang seratus ribuan yang tergulung. Uangnya memang banyak. Konon katanya dia anak seorang pejabat tinggi di KPU. Pernah kutanyakan pada Sisia, ayahnya berprofesi sebagai apa. Tapi dia malah tertawa sambil menjawab tidak tahu. Besok-besoknya lagi saat kutanyakan ulang, dengan santai dia menjawab bahwa ayahnya bekerja sebagai peternak ayam. Di hari yang lain dia bilang bahwa ayahnya adalah pedagang mangga yang amanah. Soal katanya ayah Sisia adalah pejabat KPU itu kudengar dari senior di kampus. Seiring berjalannya waktu, aku jadi tidak mau tahu lagi apa pekerjaan ayah Sisia. Yang kutahu dia memiliki uang yang selalu cukup. Tak seperti sebagian teman-teman kami yang harus menunggu berbulan-bulan untuk membeli buku, atau makan saja kesusahan. Setiap kali ada yang perlu dibayar, dia hanya tinggal merogoh saku kemeja atau kantong celana.

Sisia Ananda Haruka, dia hadir sebagai ujian sekaligus anugerah di circle pertemanan kami. Dia bisa menjadi manusia luar biasa menjengkelkan di hari ini, dan menjadi manusia luar biasa peduli di hari esok. Di tangannya yang sering membuat onar itu seperti ada listrik yang bisa mengirim hangat ke semua orang. Senyumannya yang tanpa dosa tiap kali habis melakukan kesalahan, membuat kami teman-temannya yang tadinya ingin memarahinya bisa mendadak ikut senyum tanpa dosa. Dan dia buta ….

Biar kuceritakan sedikit bagaimana pertemuan pertama kami yang sederhana. Waktu itu hari pertama perkuliahan, aku hampir saja terlambat. Tetapi demi seorang perempuan buta yang nampak kebingungan di koridor utama, aku rela benar-benar jadi terlambat. Aku bertanya dia ingin ke mana, dan ruangan yang ia sebutkan adalah ruangan yang ingin kutuju. Dengan keterkejutan yang berlebihan kemudian aku mengajak dia berkenalan. Namanya Sisia, aku menjabat tangannya sambil menyebutkan namaku. Anggita Putri, biasanya dipanggil Anggit.

Sejak hari itu, entah bagaimana dan kenapa, akhirnya kami berteman. Malah sampai membuat circle pertemanan yang berisi beberapa orang lainnya.

Orang bilang, Sisia itu luar biasa. Dia diberi mukjizat dari Tuhan sampai bisa belajar meski matanya tidak bisa melihat. Orang juga bilang, Sisia itu manusia spesial yang meski tidak bisa melihat, tetap bisa main handphone. Awalnya aku pun berpikiran begitu. Tapi makin ke sini, makin lama berinteraksi dengan Sisia, aku menyimpulkan ternyata Sisia bukan dapat mukjizat. Dia hanya terbiasa.

Terbiasa makan tanpa melihat makanan yang tersaji di atas piring, terbiasa mengetik sepuluh jari tanpa melihat tombol keyboard, terbiasa melipat pakaian tanpa melihat baju-baju yang akan dilipat. Sisia juga kebetulan memiliki otak yang encer, makanya tidak susah bagi dia belajar hanya dengan mendengar sedikit penjelasan dari dosen. Aku pernah mencoba makan sambil menutup mata, dan nyatanya aku bisa melakukan itu, hanya kurang nyaman saja mungkin karena tidak terbiasa.

Di perjalanan pulang, Sisia tidak berhenti tertawa geli. Baginya tadi itu adalah pengalaman lucu. Aku menyeretnya untuk pulang, meski kami baru datang dan pesta baru saja mau dimulai. Salahnya memang, menggerakkan tangan tidak berhenti. Kalau orang lain bisa memaklumi kesalahan Sisia dengan mudah, dengan alasan dia buta dan tak sengaja, aku beda lagi. Sisia itu buta, bukan kehilangan otak sama sekali. Dia pasti tahu jelas bahwa di atas meja banyak piring dan gelas, aku juga sudah menjelaskan itu padanya. Ya dasar dia saja yang tidak bisa diam.

“Kenapa sih gelasnya dijatohin?”

Aku bertanya basa-basi ke Sisia. Ini bukan kejadian pertama dia menjatuhkan sesuatu, pasti ada penjelasan logis yang bisa kupahami.

“Tadi gue terlalu bersemangat sih mau salaman sama temen-temen lain. Ya pas nyentuh gelas, karena ngerasa risih, gelasnya malah gue senggol biar gak ngehalangin tangan. Eh gue lupa kalau gelas itu bisa pecah, dan mejanya juga gak luas-luas amat,” Sisia menjelaskan sambil lagi-lagi tertawa geli.

Aku gleng-geleng dan ikut tertawa, ada-ada saja.

“Jangan diulangi,” pesanku.

“Ya lihat nanti, gue gak bisa janji. Soalnya suka khilaf sih.”

Aku geleng-geleng lagi, ikutan tertawa geli lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Mau marah sekalipun, toh tidak akan ada yang berubah. Kemarin juga kamar Sisia kudapati becek. Penyebabnya adalah dia yang berniat mengambil air, meletakkan gelas dan membuka kran dispenser. Setelah itu ada yang menelepon dan dia jadi lupa sudah membuka kran dispenser. Saat air menghampiri kakinya, dia baru ingat. Mau diapa? Kamarnya sudah becek dan aku membiarkan dia membereskan kekacauan itu sendiri. Siapa suruh lupa?

Ibu kost biasa menegurku kalau melihat Sisia mengepel atau menyapu sendirian. Katanya kenapa aku tak membantu Sisia. Mungkin ibu kost berpikir aku tega sekali membiarkan temanku yang tidak melihat mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga sendirian. Tapi aku merasa Sisia itu tidak ada bedanya dengan anak kost lainnya, dia melakukan kesalahan bukan karena dia tidak melihat, tapi karena lupa atau ceroboh saja. Dan dia harus mempertanggung jawabkan kesalahannya itu agar bisa lebih hati-hati lagi kedepannya.

Taxi online mulai memasuki lorong menuju kost. Sisia memasukkan handphone, permen dan beberapa batang coklat yang ia bawa ke dalam tas. Dia sudah hafal belokan dan kondisi jalan yang bergelombang sebelum masuk lorong, pastilah dia tahu kami sebentar lagi sudah sampai.

 

“Luar biasa ya mukjizat Allah? Adek bisa tahu kalau titik pengantaran sudah dekat, padahal tidak bisa lihat jalanannya. Itu adek ada bisikan gaib atau bagaimana?”

Mendengar kata-kata supir taxi, Sisia tersenyum jahil.

“Iya, Pak, aku ada dapat bisikan mistis begitu. Makanya bisa tahu. Ini juga aku main hp karena mendengar bisikan mistis.”

Pak supir mengangguk-angguk takjub, aku menahan tawa. Ada-ada saja Sisia ini. Aku kemudian menjelaskan ke pak supir sependek pengetahuanku, terkait kenapa sih Sisia bisa tahu bahwa sebentar lagi kita sampai dan aplikasi apa yang Sisia download agar bisa menggunakan handphone seperti orang pada umumnya. Pak supir kali ini mengangguk-angguk lagi, bedanya kali ini anggukannya adalah anggukan paham, kemudian berterimakasih.

Begitulah Sisia dan segala drama kejahilannya. Dia tak melihat, pernah kutanyakan kenapa dia lebih sering menyebut dirinya buta ketimbang disabilitas netra. Dan dia hanya mengangkat bahu tidak tahu. Makanya aku juga lebih fasih menyebut dia dengan sebutan buta, bukan disabilitas netra, ya karena dia yang nyaman dipanggil begitu. Tapi kata dosen kami sih seharusnya Sisia lebih bagusnya disebut disabilitas netra. Mungkin nanti itu bisa kami gunakan bersama-sama, dengan pembiasaan terlebih dahulu. Pelan-pelan aku ingin aku dan Sisia sama-sama mempelajari dunia disabilitas, karena nyatanya Sisia pun baru mengalami kebutaan beberapa tahun belakangan ini.

 

Penulis : Nabila May Sweetha

Juara Favorit Lomba Menulis Cerpen Mitra Netra Independence Day Festival 2022

Leave Comment