Kekhawatiran dan kecemasan umumnya melanda orang tua menjelang datangnya tahun ajaran baru, terutama orang tua yang anaknya mendaftar ke sekolah baru setelah lulus. Khawatir, apakah anak mereka dapat diterima. Namun, kekhawatiran dan kecemasan itu menjadi lebih besar, jika orang tua tersebut memiliki anak Penyandang disabilitas yang hendak mendaftar ke sekolah regular, bukan ke sekolah luar biasa (SLB). Serentetan pertanyaan muncul di hati dan benak mereka. “Apakah sekolah mau menerima anak saya?” – Pertanyaan ini untuk sekolah yang belum pernah menerima siswa Penyandang disabilitas. “Apakah guru-guru akan membantu jika anak saya membutuhkan bantuan?” Dan lain-lain.

Setiap kali tahun ajaran baru akan dimulai, penerapan systim pendidikan Inklusif di Indonesia terus diuji. Apakah Pemerintah Indonesia sudah benar-benar menerapkan sistim pendidikan Inklusif dengan konsisten; Ataukah baru slogan semata.

Ujian itu bahkan masih terjadi di Jakarta, Ibu Kota Negara kita. Saat ada seorang ibu yang memiliki anak tunanetra, ingin menyekolahkan sang buah hati di sekolah negeri yang terdekat rumahnya, justru sekolah menolak. Alasan penolakan tersebut adalah karena sekolah itu adalah sekolah unggulan; Pihak sekolah khawatir sang calon siswa yang menyandang tunanetra tidak dapat mengikuti pelajaran, karena tingkat akademik sekolah tersebut sangat tinggi, begitu penjelasan petugas sekolah yang ditunjuk. Bahkan, saat anak tunanetra yang datang ke sekolah itu bertanya “jadi, saya ga dapat sekolah di sini ya?”, sang petugas sekolah tidak menjawab pertanyaan itu. Seolah tak ada manusia lain di ruang itu selain dirinya dan ibu yang memiliki anak tunanetra tersebut.

Sekolah negeri, yang dibiayai dengan anggaran Negara, yang didapat dari uang rakyat, menolak menerima siswa Penyandang disabilitas dengan alas an itu sekolah unggulan; Tidak mau direpoti dengan menerima anak tunanetra. Sungguh, ini merupakan perilaku yang sangat tidak pantas dilakukan oleh sekolah negeri. Jika hal ini dilakukan oleh sekolah swasta, itu masih dapat dipahami, karena sekolah swasta harus menghidupi dirinya sendiri melalui dana yang didapat dari orang tua siswa yang bersekolah di sana.

Yang terjadi justru sebaliknya. Saat tim Yayasan Mitra Netra mendampingi seorang ibu yang mendaftarkan anak tunanetranya ke sebuah sekolah swasta yang terletak di kawasan Jaga Karsa, sekolah itu justru membuka pintunya lebar-lebar. Sekolah itu bahkan telah melabeli dirinya sebagai sekolah Inklusif, karena selama ini telah menerima anak-anak dengan pelbagai kesulitan belajar. Memang mereka belum pernah menerima siswa tunanetra. Namun, karena ideology sekolah tersebut telah “Inklusif”, yang mereka lakukan adalah mengadakan pertemuan dengan Yayasan Mitra Netra bersama orang tua anak tunanetra dan guru-guru yang akan mengajar di kelas satu, untuk mendapatkan wawasan tentang bagaimana menangani anak tunanetra.

Jadi, bagaimana dengan pembangunan sistem pendidikan Inklusif di Indonesia? Ada di mana sekarang? Ide pendidikan Inklusif telah diperkenalkan sejak tahun 1998, 20 tahun yang lalu, dan tahun ini, tahun 2018, kita masih mendapati anak tunanetra ditolak masuk sekolah regular negeri karena ia menyandang tunanetra; Dan itu terjadi di Jakarta, ibu kota Negara kita.

Berita penolakan sekolah negeri menerima siswa tunanetra itu pun akhirnya sampai ke telinga gubernur. Tak lama kemudian, kita membaca berita di media Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta diganti. Apakah penggantian itu ada hubungannya dengan insiden penolakan siswa tunanetra, atau tidak, hanya Pak Gubernur yang tahu. Namun, seharusnya Pemerintah tidak boleh hanya berhenti di situ.

Telah banyak praktik terbaik yang dilakukan masyarakat, yang terbukti membantu memberikan pendidikan berkualitas pada anak-anak Penyandang disabilitas. Satu di antaranya yang dilakukan Yayasan Mitra Netra sejak tahun 1991. Sebenarnya Pemerintah tinggal “mencontoh” saja. Pemerintah, apalagi Pemerintah DKI Jakarta, memiliki alokasi dana pendidikan yang begitu besar; 21% dari seluruh APBD. Pertanyaannya berapa % dialokasikan untuk anak Penyandang disabilitas? Di saat partisipasi anak Penyandang disabilitas di sekolah baru 18%, apa yang Pemerintah lakukan untuk membawa lebih banyak anak disabilitas ke sekolah. Ayo Pemerintah, bergeraklah. Buat perencanaan yang jelas, terukur; Belajarlah dari praktik terbaik di masyarakat. Tak perlu gengsi Pemerintah belajar dari masyarakat. *Aria Indrawati

Leave Comment