Tahun ajaran baru 2016-2017 telah dimulai. Anak-anak kembali bersekolah, termasuk anak-anak tunanetra. Siswa tunanetra ada yang bersekolah di sekolah luar biasa (SLB), ada pula yang bersekolah di sekolah reguler (sekolah biasa bukan SLB). Keyakinan Mitra Netra, jika siswa tunanetra tidak memiliki hambatan kecerdasan, tempat belajar terbaik mereka adalah di sekolah reguler bersama siswa lain yang bukan tunanetra secara inklusif.

Tahun ajaran baru identik dengan buku pelajaran baru. Bagi tunanetra yang bersekolah di SLB, buku pelajaran tidak terlalu masalah. SLBlah yang bertugas memenuhi kebutuhan siswa tunanetra akan buku pelajaran. Meski demikian, faktanya, masih banyak SLB yang belum dapat memenuhi kebutuhan siswa tunanetra mereka. Lalu bagaimana dengan tunanetra yang bersekolah di sekolah reguler? Siapa yang memenuhi kebutuhan mereka akan buku-buku pelajaran?

Itulah salah satu tugas penting Yayasan Mitra Netra. Menyediakan buku-buku pelajaran bagi siswa tunanetra yang menempuh pendidikan di sekolah reguler.

Bagaimana prosesnya?

Ada dua cara. Cara pertama, jika sekolah reguler yang menerima siswa tunanetra telah mendapatkan dana dari pemerintah daerah atau mungkin kementerian pendidikan untuk pemenuhan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus, pihak sekolahlah yang memesan ke Yayasan Mitra Netra. Cara kedua, Orang tua atau keluarga yang memiliki anak tunanetra yang menempuh pendidikan di sekolah reguler memesan ke Yayasan Mitra Netra. Pada kenyataannya, yang banyak terjadi adalah “cara kedua”.

Dapat dibayangkan, betapa banyak pesanan buku yang masuk ke Mitra Netra di awal tahun ajaran baru. Jika pesanan datang dari keluarga atau orang tua, biasanya Mitra Netra meminta agar mereka dapat memasukkan buku asli – atau buku versi cetak tinta – sebelum tahun ajaran baru dimulai – yaitu saat libur kenaikan kelas. Dengan demikian, Mitra Netra dapat memulai proses pengetikan ulang atau pemindaian buku asli menjadi file elektronik untuk diproses menjadi buku Braille, atau dibacakan dan direkam menjadi buku audio digital sesegera mungkin. Pada saat buku-buku itu diperlukan untuk belajar di tahun ajaran baru, buku-buku sudah siap dan diserahkan pada para siswa tunanetra.

Namun, hal ideal sebagaimana diuraikan di atas tidak selalu dapat terjadi demikian. Alasannya, pertama, karena orang tua baru mendapat informasi buku apa saja yang dipakai setelah siswa masuk sekolah; Kedua, jumlah staf di bagian produksi buku Mitra Netra yang mengerjakan proses pengalihan buku pelajaran menjadi buku Braille dan buku audio digital sangat terbatas.

Lalu bagaimana solusinya?

Untuk memenuhi kebutuhan siswa akan buku secara tepat waktu, khususnya untuk buku Braille, Mitra Netra mengerjakannya secara bertahap; dikerjakan untuk bab yang dibahas di awal tahun ajaran baru terlebih dahulu. Dengan demikian, seluruh siswa tunanetra yang memesan buku di Mitra Netra dapat memiliki buku pelajaran untuk minggu-minggu awal sekolah mereka. Pengerjaan terus dilakukan setelahnya, sehingga pada akhirnya semua buku yang diperlukan siswa tunanetra untuk satu tahun ajaran dapat tersedia dan dimanfaatkan oleh siswa tunanetra.

Tantangan bersekolah di Indonesia adalah, untuk mata pelajaran yang sama, beberapa sekolah dapat menggunakan buku yang berbeda; berbeda penulisnya, dan berbeda pula penerbitnya. Mitra Netra harus memenuhi kebutuhan buku sesuai dengan permintaan tunanetra. Meski untuk pelajaran yang sama, namun jika sekolah tertentu mengunakan buku berbeda dari sekolah lainnya, itu pun harus dipenuhi. Bahkan, meski yang memesan hanya satu orang siswa tunanetra sekalipun, Mitra Netra tetap memenuhinya.

Ini salah satu alasan, mengapa biaya layanan untuk tunanetra itu mahal. Sering kali tak mudah dimengerti oleh pihak-pihak yang belum mendalami kompleksitas tantangan yang Mitra Netra hadapi.

Dan karena alasan itulah, untuk buku-buku non pelajaran, buku-buku populer, Mitra Netra meminta partisipasi masyarakat membantu sebagai relawan. Seluruh staf produksi buku di Mitra Netra telah disibukkan melayani kebutuhan siswa tunanetra akan buku-buku pelajaran. Pada saat bersamaan, tunanetra juga membutuhkan bacaan untuk pengembangan diri; pengetahuan umum, buku populer, karya sastra, buku-buku motivasi dan sebagainya. Dan saat ini, ajakan menjadi relawan dikemas dengan tajuk “Tantangan Berbagi Buku Untuk Tunanetra”. Pendaftaran menjadi relawan dapat dilakukan secara on-line, melalui website www.seribubuku.kebi.or.id. Pada tanggal 25 Juli mendatang, gerakan “Tantangan Berbagi Buku Untuk Tunanetra” berkunjung ke kota Bogor, menemui Wali Kota Bogor Bima Arya beserta masyarakat di kota hujan tersebut. *Aria Indrawati.

Leave Comment