Di Indonesia, bulan April identik dengan Hari Kartini. Dalam rangka memperingatinya, saya ingin menuliskan cerita dari dua orang kawan karib saya sesama perempuan tunanaetra. Harapan saya, dengan membagikan pengalaman dari kedua sosok ini dapat menginspirasi perempuan tunanetra lainnya. Semoga semangat perjuangan Ibu Kartini dalam pencapaian kesetaraan dan penghormatan bagi perempuan tetap hidup dalam diri kita. Selamat membaca!

Mari saya perkenalkan dengan Adinda Luna Maharani. Luna, begitu sapaan akrabnya. Saya bertemu Luna pertama kali tahun 2012 di Mitra Netra. Waktu itu, saya diminta mendampingi Luna belajar untuk persiapan mengikuti ujian kesetaraan paket A. Namun karena satu dan lain hal, kesempatan menjadi kakak volunteer peer teaching bagi Luna baru terwujud pada 2016. Masa-masa pendampingan belajar itulah yang membuat saya dan Luna menjadi akrab. Beberapa minggu lalu, saya berkesempatan mengobrol santai dengannya. Hari itu adalah sesi belajar terakhir kami sebelum Luna mengikuti ujian paket C-nya di akhir minggu. Banyak topik yang kami bicarakan, termasuk ketika Luna dengan senang hati membagikan kisahnya saat menjadi tunanetra dan keinginannya untuk mandiri.

Baca juga: Peer Teaching, Bentuk Partisipasi Relawan Tunanetra dalam Layanan Pendampingan Belajar

Gadis berusia 18 tahun ini memang terlahir bukan sebagai penyandang tunanetra. penyebab tunanetra Luna muncul di tahun 2011. Bermula dari serangan sakit kepala hebat dan dalam kurun waktu dua minggu kemudian, semua indera dan tubuhnya mengalami penurunan fungsi dan lumpuh total. Dokter mendiagnosa Luna mengalami syndrome multiple sclerosis dan efek virus tokso rubella. Setelah berbagai upaya untuk sembuh dilakukan dan menemui jalan buntu, dokter akhirnya angkat tangan.

Melihat kondisi Luna yang saat ini telah kembali beraktivitas seperti biasa, saya penasaran dan kemudian bertanya motivasi apa yang berhasil mematahkan vonis dokter tentang kondisi kelumpuhannya saat itu.

“Karena sering dijenguk teman-teman, aku jadinya pengen balik sekolah lagi”, kata Luna menjawab pertanyaan saya.
Tekadnya untuk sembuh agar bisa berkumpul dengan teman-temanya di sekolah, ternyata menjadi pelecut semangat Luna untuk setiap hari berlatih mencoba menggerakkan tubuhnya. Berkat kegigihannya, kesembuhan berangsur-angsur menghampiri Luna.

“Dimulai dari jari tangan dan kaki yang bisa bergerak, lalu duduk dan mulai bisa merasakan makanan dan mendengar. Sayangnya untuk bagian mata sudah tidak bisa membaik”, tutur Luna tanpa beban.

Saya amat terkesan dengan cara Luna menceritakan kisah hidupnya. Terlihat tanpa beban, bahkan terkadang sambil diselingi canda tawa layaknya keceriaan remaja seusianya. Minder dan menutup diri pernah menjadi bagian hidup Luna ketika dia sakit. tapi kini Luna adalah gadis remaja yang ceria, semangat dan dewasa. Tingkat kedewasaan gadis kelahiran 20Oktober 2000 ini terpancar saat dia menjawab pertanyaan saya tentang pendidikan dan kemandirian bagi perempuan tunanetra.

Menurut Luna, kemandirian dan pendidikan bagi perempuan tunanetra mutlak diperlukan. Dia sempat mengisahkan pengalaman lucu yang membuat Luna menyadari bahwa diskriminasi yang dialami perempuan tunanetra lebih berat dibandingkan tunanetra laki-laki.

“Waktu itu ada yang tanya, tunanetra emangnya bisa mandi sendiri?”, ujar Luna sambil tertawa.
“Ada beberapa pengalaman juga yang membuat aku berpikir kalau orang-orang menganggap perempuan tunanetra itu tidak bisa mengurus diri sendiri, jadi gimana bisa urus anak dan suami kalau urus diri sendiri aja nggak bisa” lanjut Luna menggebu-gebu.

Dari pengalaman itulah, Luna ingin sekali membuktikan anggapan orang itu salah. Luna berharap suatu hari nanti dia dapat menjadi sosok perempuan mandiri meskipun kondisi tubuhnya saat ini belum sepenuhnya pulih. Luna juga berpendapat, mendapatkan pendidikan adalah salah satu upaya untuk mencapai kemandirian. Dengan demikian perempuan tunanetra tidak dipandang sebelah mata di tengah masyarakat.

“Dengan memiliki pendidikan dan pengetahuan luas, perempuan tunanetra pasti lebih mandiri, bisa mengurus diri sendiri dan keluarga, berprestasi dan bekerja. Jadi seperti itu juga yang ingin aku lakukan di waktu yang akan datang”, tandas Luna.

Di lain waktu, saya menyambung topik ini dengan sahabat karib yang lain, yakni Hadianti Ramadhani. Perempuan berusia 32 tahun ini bisa dipandang sukses mengingat kini dia telah meniti karier menjadi content writer di sebuah perusahaan digital agency. Ketika saya menghubunginya via telepon, Dhani – panggilan akrabnya- membagikan pengalaman berharganya.

Baca juga: Ayo! Tentukan Masa Depan “Anti Galau” Dengan Mitra Netra Soft Skill Training

Dhani memulai ceritanya dari usia 7 tahun ketika vonis dokter menyatakan dia seorang low vision. Karena dokter dan keluarga tidak menjelaskan konsep bahwa low vision adalah tunanetra yang memiliki sisa penglihatan, maka Dhani menganggap dirinya berbeda dengan tunanetra total. Dengan jarak pandang yang masih cukup bagus, gadis kelahiran 1987 ini, secara mental dan di lingkungan keluarganya tidak dipersiapkan sebagai low vision yang sesungguhnya. Dengan pemikiran bahwa dia “hampir sama” dengan orang awas lainnya, Dhani menjalani dunia akademisnya dengan mulus tanpa kendala yang berarti.

“Aku bisa dibilang seperti orang awas, tapi di saat bersamaan keluarga juga sering mengkawatirkan aku untuk berkegiatan di luar rumah atau outdoor”, ungkap Dhani.
Dhani yang merupakan alumni sastra jepang Universitas Padjajaran ini berkata bahwa dia bangga bisa lulus kuliah dengan IPK 3, 7, tapi ternyata kenyataan membuktikan sebaliknya. Dhani mengaku jarang memiliki teman, mengikuti kegiatan atau berorganisasi selama menempuh masa akademisnya. Dhani hanya fokus belajar dan cepat lulus kuliah tanpa menyadari bahwa banyak pengalaman hidup yang dia lewatkan. Alhasil, ketika tiba waktunya mencari pekerjaan, Dhani merasakan dirinya kosong dan kurang pengalaman.

“Krisis kepercayaan diri itu muncul pada saat aku mulai interview kerja, sulit mengungkapkan bahwa aku seorang low vision dan tidak memiliki skill yang lain selain akademis”, Tutur Dhani.
Namun, keadaan itu tidak serta merta memuat Dhani berdiam diri di rumah. Dhani memutuskan untuk menebus waktu dimana dia telah kehilangan masa untuk memiliki banyak teman dan pengalaman yang menempa mentalnya. Dia kemudian memutuskan belajar komputer bicara di mitra Netra, bergabung dengan berbagai komunitas penyandang disabilitas dan menemukan hobinya yaitu menulis. Masa-masa dimana dia bertemu banyak teman dan memulai pekerjaan sebagai volunteer di sebuah organisasi penyandang disabilitas membuat sosok Dhani perlahan lebih percaya diri sebagai tunanetra low vision. Untuk itu, Dhani menitipkan pesan bahwa ada tiga hal yang perlu dimiliki perempuan tunanetra di Indonesia.

“Pengetahuan, pengalaman dan jaringan pertemanan adalah bekal penting yang harus kita miliki untuk menghadapi kehidupan dan tantangan di luar sana”, pungkas Dhani. Mendengarkan cerita dari dua sahabat saya merupakan cara mendapatkan pengetahuan, pengalaman dan mempererat tali persahabatan. Untuk itu, sebagai penutup tulisan ini saya ingin mencatat bahwa setiap manusia memiliki nilai-nilai hidup yang patut diperjuangkan. Pendidikan dan pengetahuan merupakan bekal agar seorang perempuan tunanetra dapat mandiri, melindungi serta mendapat penghormatan bagi dirinya sendiri. Pengalaman memberi gambaran hidup yang nyata dan menempa karakter yang kuat. Sedangkan jaringan pertemanan adalah sumber daya sekaligus bentuk dukungan yang dibutuhkan setiap perempuan untuk saling menguatkan. Selamat Hari Kartini!
*Juwita Maulida

Leave Comment