miniatur beberapa orang sedang meeting di sebuah meja

Tumbuh sebagai seorang Erbs Palsy survivor memberikan kesempatan untuk memahami keunikan–keberagaman penyandang disabilitas. Sebagai seorang disabilitas fisik pada bagian tangan, mulanya aku tak pernah mengenal istilah penyandang disabilitas atau difabel karena tumbuh di lingkungan yang didominasi oleh masyarakat tanpa disabilitas. Bagi mereka saat itu, isu disabilitas dalam kesehariannya adalah suatu hal tabu untuk dibicarakan di ruang-ruang publik. Situasi itu tidak membuat terkekang meskipun keberadaanku sebagai minoritas. Justru, rasa penasaran atas kondisi disabilitas yang dimiliki mendorongku untuk mengaktualisasikan diri dalam komunitas disabilitas yang aku ketahui belakangan saat melakukan kegiatan olahraga. Pada kesempatan itu pula aku bertemu dengan teman netra bernama Tio Tegar Wicaksono, seorang disabilitas netra total—konon ia mengalami gangguan penglihatan karena terjatuh dari tempat tidur saat balita. Perjumpaanku dengannya terbagi dalam dua babak cerita yakni pada kesempatan bekerja sama sebagai atlet disabilitas dan menjadi rekan kerja di sebuah organisasi gerakan disabilitas.

Berinteraksi dengan Tio, sapaan akrabnya, meniadakan adanya sekat-sekat bias dalam memahami secara utuh keberadaan teman netra sebagai individu pada umumnya. Dalam sepekan bersama-sama mengikuti kejuaraan Pekan Paralimpik Pelajar Nasional tahun 2011, aku belajar beradaptasi untuk dapat berinteraksi dengan baik dan sesuai kebutuhan seorang penyandang disabilitas netra. Pengalaman pertama; saat menjadi teman sekamar, aku belajar adanya “konsensus” sebelum memberikan dukungan bagi teman netra. Saat hendak membantu mencari barang-barang keperluan untuk tanding, misalnya, aku perlu bertanya terlebih dahulu untuk memastikan kesediaan Tio menerima bantuan atau kebutuhan tertentu. Hal ini perlu dilakukan mengingat setiap individu memiliki cara unik masing-masing untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi.

Pada kesempatan lain, suatu kejadian mengajarkanku mengenai pentingnya sebuah adab dan etika saat menjalin komunikasi verbal. Selepas pertandingan, kita selalu menyempatkan untuk berdiskusi ringan–membicarakan momen unik yang terjadi saat berlaga. Tak berselang lama saat Tio bercerita, aku tak sengaja meninggalkannya untuk pergi ke toilet tanpa memberi tahu atau berpamitan, saat itu pula Tio merasa bingung karena ia berbicara sendiri. Dalam situasi tersebut, seyogyanya bagi siapa pun yang sedang berinteraksi dengan teman netra dapat menginformasikan keperluannya. Pelajaran berharga ini mengajarkan bahwa perlunya memberikan informasi terlebih dahulu sebelum mengakhiri sebuah interaksi atau percakapan. Di sisi lain, pemahaman ini juga diperlukan pada saat diskusi dengan beberapa teman netra dalam satu forum, untuk memberikan tanda ketika memulai dan menyudahi pembicaraan.

Memiliki rekan netra juga memberikan ruang untuk saling bekerja sama dengan tujuan saling melengkapi. Pada situasi tertentu, aku membantu Tio berjalan melintasi area trotoar stadion yang tidak dilengkapi dengan guiding block. Tak heran, kondisi seperti ini selain menggambarkan absennya pemenuhan hak di ruang publik secara umum, juga berpotensi mengancam keselamatan individu penggunanya dari bahaya menabrak hingga terjatuh. Melihat pentingnya kewaspadaan itu, mengingat kondisi disabilitas tangan kanan yang lemah karena cedera saraf, memaksaku untuk membagi beban kepada orang lain. Saat itu aku membawa barang bawaan yang kupegang dengan tangan kiri. Tak kehabisan akal, aku menyodorkan kantong kain berisi pakaian kepada Tio karena tangan kiri perlu memastikan perjalanan berjalan lancar. Analogi secara sederhana, keberadaanku berperan sebagai “mata” untuk beraktivitas bagi Tio dan sebaliknya, tangan kanan Tio berfungsi menjadi “tangan kanan” yang aku perlukan. Pada titik ini, hubungan kerja sama sesama penyandang disabilitas dengan berbeda ragam dalam relasi pertemanan dapat menciptakan kolaborasi yang unik dan suportif. Memiliki disabilitas tak berarti membuat lemah, akan tetapi mendorong untuk berpikir kritis dalam menyelesaikan persoalan dan tantangan sesuai kemampuan yang dimiliki. Relasi pertemanan antar disabilitas ini bisa mendorong kolaborasi untuk saling melengkapi dalam kehidupan sehari-hari atau ranah profesional.

Satu dekade terlewati, pertemuanku dengan Tio berlanjut dalam suasana formal, yaitu sebagai rekan kerja di sebuah organisasi, bernama Semua Tidak Berjarak. Tepatnya tahun 2021, kesempatan berkolaborasi semakin paten dan solid saat menjalankan projek. Bekerja secara profesional dengan Tio telah mendorong tak hanya diriku tetapi juga anggota tim lain untuk terbiasa bertindak secara adil sejak dalam pikiran. Perihal komunikasi, seluruh anggota tim wajib memastikan setiap informasi yang disampaikan baik secara pesan pribadi maupun melalui grup agar dapat diakses dengan mudah bagi setiap anggota dengan disabilitas tak terkecuali oleh rekan kerja dengan disabilitas netra. Pada praktiknya saat kegiatan rapat dan diskusi informal, kewajiban ini menuntut setiap anggota tim untuk memiliki kepekaan dan keahlian untuk memfasilitasi Tio dalam mendapatkan informasi secara jelas dan akurat. Sebagai ilustrasi, saat salah satu anggota tim memberikan informasi berita dalam format tangkapan layar, maka ia bertugas membubuhkan penjelasan secara detail mengenai keterangan deskripsi gambar dan teks. Hal demikian tak hanya bermanfaat dalam menyelesaikan persoalan administratif, melainkan pentingnya seluruh anggota tim untuk terlibat, menjaga marwah inklusivitas dalam organisasi, dan tidak menciptakan tindakan diskriminatif saat proses bekerja.

Peranan Tio terhadap organisasi secara positif memberikan dampak signifikan. Hal ini dapat terjadi karena kemampuan dirinya yang adaptif dan didukung dengan proses bekerja yang demokratis. Memiliki kolega dengan disabilitas netra memacu tim kerja untuk memahami betul tantangan yang dihadapi dan potensi yang dimiliki oleh setiap individu yang bermanfaat dalam pendelegasian tugas. Setiap pekerja tentunya memiliki keunggulan dan titik lemah tertentu. Secara jeli, pemahaman ini perlu dibangun dan diterapkan dalam pembagian tugas agar dapat terlaksana secara proporsional sehingga menghasilkan output yang berkualitas. Sebagai contoh, Tio terlibat projek kegiatan produksi podcast yang secara rutin tayang setiap pekan. Oleh karena itu, tim kerja menunjuk Tio untuk melakukan riset isu-isu disabilitas terkini dan membuat narasi untuk closed-caption. Di samping karena kemampuan dan pengalamannya di bidang riset, Tio juga lebih leluasa menggunakan gawainya untuk berselancar dan mengetik menggunakan laptop yang telah dilengkapi teknologi pembaca layar. Kepiawaiannya dalam beradaptasi dengan teknologi dan lingkungan kerja menunjukkan teman netra memiliki determinasi sesuai karakteristik potensinya untuk berkontribusi dengan maksimal.

Sudah berjalan beberapa tahun dalam satu atap organisasi, mengenal Tio kini tak hanya sebagai kolega yang bertemu dalam tataran formal. Beberapa kali kami menyaksikan fenomena yang sebelumnya jarang terpikirkan bahkan dibicarakan dengan sesama rekan kerja. Beberapa kejadian nyeleneh terangkum dalam ingatan; pada saat Tio beranjak dari meja kerja untuk pulang, ia memintaku untuk mengambilkan tas yang berada di antara tumpukan tas lain. Dengan lugunya aku bertanya kepadanya “apa warna tas kamu, Tio?”, lalu dengan kelakar Tio menjawab bahwa tas itu berwarna gelap. Pada kejadian lain, saat kami meeting harian untuk menyelesaikan pekerjaan, tiba-tiba terjadi listrik padam sehingga ruangan menjadi gelap. Pada kondisi itu, Tio berkata “ah tidak menjadi persoalan, tugas tetap dikerjakan dengan lancar karena sudah biasa”. Kejadian serupa juga dialami saat ia hendak menggunakan toilet. Kolega berpesan kepada Tio bahwa kelistrikan pada lampu toilet tersebut sedang dalam perbaikan dan ia merespon “ah sudah biasa, menyala pun tidak berpengaruh”. Tak sadar, semua jawaban yang dilontarkan Tio ini adalah “lelucon gelap” yang disampaikan untuk mencairkan suasana menggunakan lelucon yang berasal dari bagian kondisi disabilitasnya. Pada titik ini, Tio mengisyaratkan bahwa dirinya telah berdamai dengan kondisinya. Memang, proses menerima diri ini tidaklah mudah dan perlu melewati fase tertentu bagi masing-masing individu. Lebih dalam lagi, makna lelucon tersebut ia gaungkan untuk mendobrak status quo bahwa membicarakan isu disabilitas selalu diasosiasikan dengan rasa iba, kaku, dan tak wajar. Melalui selera humornya, Tio memberi ruang kepada siapa pun yang tadinya canggung menjadi timbul rasa memiliki untuk membicarakan perihal disabilitas dalam situasi informal dan tidak berjarak.

Unik dan berkesan dapat mengenal dan bekerja sama dengan teman netra baik dalam situasi informal dan formal. Pengalaman berinteraksi dengan teman netra memberi arti bahwa keberagaman adalah kekuatan yang harus dirawat dan mendorong sebuah keberanian untuk merangkul disabilitas dan berjalan seirama tanpa ragu. Tak lain lagi, bekerja sama dengan teman netra memberikan kesempatan untuk sebuah refleksi dalam memahami potensi dan keunikan masing-masing individu dalam menjalani kehidupan. Begitu pula, berteman dengan penyandang disabilitas netra dapat mencegah munculnya stigma atau asumsi tidak berdasar terhadap penyandang disabilitas netra.

 

Penulis: Destry Indra Wibawa

Juara I Lomba Menulis Esai Mitra Netra Youth Festival 2023

 

One comment for “Dua Dimensi Interaksi dengan Teman Netra

  • Glorya says:

    Keren banget Indra….
    Aku jadi terharu dan berterimakasih sudah membuka wawasan tentang hal ini.

    Reply

Leave Comment