Laptop putih di tepi Jendela yang terbuka menghadap ke hamparan salju

Sejujurnya, saya tidak terlalu sering berinteraksi dengan teman-teman disabilitas netra, karena di lingkungan tempat saya tumbuh tidak ada seorangpun yang disabilitas netra. Bahkan, kata ‘disabilitas’ sesungguhnya tidaklah familiar bagi saya sedari masa kanak-kanak hingga fase dewasa awal. Saya baru mengenal istilah ‘disabilitas’ ketika saya baru lulus kuliah dan memasuki dunia kerja, kendati saya sebenarnya juga seorang dengan disabilitas fisik (setidaknya yang saya pahami pada saat itu). Dari titik itulah saya mulai belajar tentang isu-isu disabilitas, walaupun tetap belum banyak interaksi dengan rekan-rekan disabilitas netra, kecuali saat bertemu dalam forum atau ruang-ruang diskusi serupa.

Tahun 2023 mungkin menjadi kesempatan pertama saya untuk berinteraksi secara intens dengan teman-teman disabilitas netra dalam waktu yang cukup lama (2 minggu). Akhir Juli lalu, saya mendapat kesempatan mengikuti Accessibility and Universal Design Training Course 2023 For Persons with Disabilities in Asean. Singkatnya, kegiatan tersebut adalah pelatihan bagi orang-orang dengan disabilitas di wilayah Asia Tenggara untuk memahami persoalan aksesibilitas dan desain universal, terutama dalam kaitannya dengan bangunan gedung dan fasilitas publik. Kegiatan yang berlangsung selama dua minggu tersebut membuat saya banyak belajar, bukan hanya soal materi pelatihan, tetapi juga hidup bersama rekan-rekan disabilitas, terutama disabilitas netra yang menjadi rekan sekamar saya.

Sejujurnya, sebelum menghadiri kegiatan tersebut, saya benar-benar belum punya pengalaman berinteraksi intensif dengan orang dengan disabilitas netra. Saya pun baru mengetahui bahwa rekan sekamar saya adalah seorang disabilitas netra ketika Ia mengetuk pintu kamar ditemani seorang asisten dari panitia acara. Saat berkenalan, saya mengetahui bahwa Ia bernama Mr. Chee, seorang berkebangsaan Malaysia yang juga seorang pegawai negeri di Malaysia. Bagi saya, Ia adalah seorang yang punya banyak pengalaman dan perspektif yang menarik, serta memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas. Dua minggu menempati kamar yang sama membuat saya banyak berbincang dengan Mr. Chee tentang berbagai topik, termasuk soal bagaimana kerja pemerintah Malaysia. Ia juga orang yang sangat terbuka dalam mengungkap secara adanya problem dalam kerja pemerintah Malaysia, sehingga saya mendapat banyak pengetahuan baru.

Pertemuan dengan Mr. Chee membuat saya merekonstruksi ulang konsep-konsep yang saya pelajari empat tahun terakhir, terutama soal independensi (kemandirian). Tadinya, yang saya pahami tentang hidup mandiri adalah hidup sebagai individu tunggal yang tidak memerlukan asistensi orang lain, kecuali dalam hubungan-hubungan yang sifatnya berorientasi pada benefit masing-masing semata. Pemikiran ini tentu saya dapatkan dari pengalaman diri sendiri, maupun dari riset-riset saya tentang disabilitas psikososial. Sepanjang hidup saya sebagai disabilitas, serta dari mendengar pengalaman teman-teman disabilitas psikososial, saya cenderung mengartikan hidup mandiri sebagai kehidupan yang 100% lepas dari intervensi orang lain. Namun, pertemuan dengan Mr. Chee mengajari saya tentang hidup mandiri yang tetap bisa dikelilingi dengan orang-orang sekitar tanpa harus selalu menjalani hubungan yang sifatnya give and take saja. Interaksi dengan Mr. Chee mengajari saya tentang bagaimana sebenarnya konsep hidup mandiri yang mengarah pada inklusi sosial.

 

Momen Berharga

Ada satu perbincangan yang membuat saya sedikit terkejut ketika berbincang dengannya. Pada saat itu saya terlebih dahulu kembali ke kamar daripada Mr. Chee sehingga kami tidak kembali ke kamar bersama seperti biasanya. Beberapa saat setelah saya sampai ke kamar kami di lantai 3, pintu diketuk dan ternyata itu adalah Mr. Chee, seorang diri, tanpa bantuan asisten atau panitia. Kemudian, sembari mempersilahkan Mr. Chee masuk ke kamar, saya secara intuitif mengatakan “You got here alone? You should have called me to pick you up instead” (kamu kembali ke sini sendiri? Harusnya bilang aja biar saya jemput). Dia dengan santainya menjawab “Yeah, it’s fine, I can go by myself” (iya, tenang aja, aku bisa kok kembali sendiri). Sebagai informasi, bangunan lantai 3 berisikan kamar-kamar yang berada di sebuah koridor dengan pintu-pintu yang saling berhadapan. Dalam satu koridor, terdapat sekitar 24 kamar (saya lupa tepatnya berapa) dan kamar kami adalah kamar ke-7 (atau ke-6) dari ujung koridor. Obrolan pun berlanjut, dan saya dengan serius serta penasaran bertanya “How can you go here alone?” (Bagaimana kamu bisa kembali sendiri?). Mr. Chee pun masih dengan santainya menjawab singkat “I count the rooms” (saya menghitung jumlah kamar).

Saat itu saya sangat terkejut, bukan karena kasihan atau sejenisnya, tetapi saya kagum bahwa Mr. Chee harus secara kontinu menggunakan pikirannya setiap beraktivitas, bahkan untuk berpindah dari lokasi A ke lokasi B. dari penjelaasan Mr. Chee saya mendapat pengertian bahwa umumnya orang dengan disabilitas netra harus selalu menyadari lingkungan sekitarnya (aware of their surroundings). Kesadaran ini tentunya terbangun dari memperhatikan hal-hal kecil seperti letak pintu, letak dinding, maupun ada tidaknya halangan di sekitar mereka. Kesadaran semacam ini bisa didapat dengan secara aktif menggunakan indra selain pengelihatan yang mereka miliki, misalnya pendengarann, perabaan, dan lain sebagainya. Dari penjelasan Mr. Chee, saya juga menyadari betapa saya sangat bergantung pada pengelihatan saya dalam hampir setiap kegiatan saya.

Selama sekitar 16 hari menjalani pelatihan, saya dan Mr. Chee intens mengobrol, kami hampir selalu bersama saat menuju ruang kelas, menuju tempat makan, hingga saat kegiatan kunjungan. Ini terjadi bukan karena ternyata saya dan Mr. Chee punya kebiasaan yang mirip. Misalnya, kami sama-sama hampir selalu makan di waktu yang sama dan hampir selalu memilih untuk kembali ke kamar ketika tidak lagi ada sesuatu yang perlu dikerjakan. Selain itu, kami juga hampir selalu bersemangat menuju kafetaria untuk makan besar maupun cemilan sembari mengobrol dengan yang lain. Selama bersama Mr. Chee dan rekan-rekan disabilitas yang lain itu pula saya sangat bersyukur dapat berkenalan dan memiliki pengalaman bersama mereka. Setidaknya, kini setelah saya pulang ke Indonesia, saya tidak lagi kikuk saat berinteraksi dengan teman-teman disabilitas netra.

Dari 21 peserta pelatihan, saya sangat akrab dengan Mr. Chee, karena beliau banyak memberitahu saya tentang situasi orang dengan disabilitas di Malaysia. Beliau bahkan tidak segan mengklarifikasi pernyataan narasumber yang berasal dari pemerintahan Malaysia tentang bagaimana situasi Organisasi Non-pemerintah di Malaysia. Beliau juga tidak segan berbagi pengalaman hidupnya serta menceritakan pengalaman-pengalaman unik yang beliau miliki, seperti pengalaman bekerja di Dining In The Dark.

Sebagaimana judul tulisan ini, saya banyak sekali belajar dari Mr. Chee, termasuk belajar untuk santai dalam menghadapi apapun yang terjadi dalam hidup. Saya sangat mengagumi pribadi Mr. Chee yang selalu tenang, namun dengan suara beratnya mampu memberi penjelasan ataupun mengonstruksikan konsep dengan tepat ketika berbicara. Tentu saja ini mungkin tidak terlepas dari wawasan beliau yang luas dan pengalaman yang melimpah. Beliau juga seorang yang tekun luar biasa, terbukti dari beliau yang rela mengerjakan pekerjaan kantornya hingga larut malam selepas pelatihannya. Mungkin, bagi Sebagian orang, ini terasa biasa karena tugas kantor adalah kewajiban. Tetapi, mengingat beliau mengikuti pelatihan sebagai bagian dari pekerjaannya, beliau tetap berkomitmen menyelesaikan pekerjaan regulernya sesegera mungkin, meski sebenarnya punya banyak waktu di hari esok.

 

Penutup

Akhir kata pertemuan kami selama dua minggu mengajari saya satu hal yang sangat penting, yaitu “membaca buku memang penting, tetapi tidak pernah cukup”. Saya yang menggeluti isu disabilitas melalui riset tentang kebijakan-kebijakan sejak 2018 untuk kesekian kalinya disadarkan bahwa menggeluti isu disabilitas tidak mungkin hanya dilakukan melalui membaca buku saja, bagian terpentingnya justru interaksi nyata dengan orang dengan disabilitas itu sendiri. Jika hendak menyajikannya dalam satu kalimat, saya mungkin akan bilang “selalu ada pengalaman yang tak mampu terangkum dalam kata”.

 

Penulis: Hisyam Ikhtiar Mulia

Juara III Lomba Menulis Esai Mitra Netra Youth Festival 2023

Leave Comment