Karya : Gregorius Budhi

Awal tahun 2000, banyak sekali muncul acara bernuansa situasi komedi yang memancing kita untuk tertawa. Tak hanya masih bisa membuat saya tertawa bila menontonnya lagi hari ini, tayangan-tayangan itu sangat membekas dalam ingatan saya. Sebab, karakter yang dimunculkan begitu dekat dengan keseharian kita. Salah satu sitkom yang memiliki hal itu adalah Bajaj Bajuri.

Ya, siapa sih yang tidak ingat tokoh sopir berbadan gemuk dengan kemeja pantai warna-warninya itu? Terlepas dari sosok optimis Bajuri menghadapi hidupnya yang miris, karakter-karakter lain tak kalah menyita perhatian. Sebut saja Oneng, istri Bajuri yang polos. Atau Mpok Hindun, tetangga Bajuri, yang tak mau kalah dan selalu bersaing dengan Emak.

Di salah satu episode Bajaj Bajuri yang saya ingat, ada adegan Emak dan Ucup pergi ke bank. Emak yang ingin membuka rekening tabungan, diceritakan dipandu oleh seorang customer service baik hati.

Namun ketika ditanya akan menabung sejumlah berapa, Emak dengan santainya mengeluarkan uang Rp20.000,00. Malu dengan tingkah Emak, Ucup pun terpaksa menggunakan uangnya untuk menutupi kekonyolan Emak.

Jika kejadian dalam sitkom ini adalah cermin keseharian kita, maka adegan ini layak disebut sebagai potret tentang kurangnya sosialisasi jasa keuangan, khususnya di bidang perbankan. Padahal, kondisi yang digunakan sebagai latar cerita Bajaj Bajuri adalah Jakarta. Ibu kota negara yang harusnya lebih maju dan lebih melek dalam segala hal. Lantas bagaimana dengan saudara-saudara kita di pelosok?

Kita semua tahu ada banyak istilah perbankan yang tak jarang membuat kita bingung. Bahkan sesederhana kata kredit sekalipun. Sebab kredit dalam artian berhutang dengan kredit yang ada pada buku tabungan bisa berbeda maknanya. Belum lagi jika kita membahas jual beli valuta asing, saham, dan lain-lain.

Dari situasi komedi Bajaj Bajuri, kita dapat belajar bagaimana cara kita untuk bersosialisasi dan juga menerima sosialisasi tentang suatu peraturan atau kebijakan yang berkaitan dengan masalah perbankan. Bahwa menggunakan istilah yang keren, walaupun sudah diakui dunia, tetap saja kita butuh istilah sederhana yang lebih mudah dicerna. Tentu saja tanpa harus
mengurangi makna dan informasi yang ada di dalamnya.

Semoga apa yang disajikan diprogram situasi komedi Bajaj Bajuri bisa memberi pelajaran pada kita. Jangan sampai ada gagal paham antara pihak perbankan dan pihak nasabah, apa lagi kalau calon nasabahnya mirip Oneng.

Jika memang setiap karakter di Bajaj Bajuri mencerminkan kita sehari-hari, apakah ada di antara Anda yang pernah seperti Emak dalam penggalan kisah Bajuri di atas?

* Karya ini berasal dari buku “Melihat Dengan Hati: Sketsa Cerita 13 Tunanetra” yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2018. Buku ini merupakan kumpulan tulisan tunanetra yang mengikuti Workshop Menulis Kreatif yang diadakan OJK bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra.

Leave Comment