Dalam sebuah perikrutan tunanetra yang akan dikaryakan sebagai “operator telepon”, sebuah stasiun televisi nasional memberikan batasan umur. Usia pelamar maksimal “25 tahun”. Alasan yang mereka sampaikan bisa dimengerti. Di antaranya, dengan merikrut karyawan yang masih muda, berarti masa produktif karyawan tersebut lebih panjang.

Bagaimana dengan tunanetra di Indonesia? Banyak di antara mereka yang terlambat menyelesaikan studi karena mengalami keterlambatan memulai studi. Contohnya, seorang tunanetra yang datang ke Mitra Netra saat telah berusia 18 tahun, atau bahkan 29 tahun, dan sama sekali belum menempuh pendidikan. Ada pula yang menjadi tunanetra di usia remaja, saat mereka SMP atau SMA, harus putus sekolah karena ketidaktahuan keluarga, dan baru datang ke Mitra Netra saat telah berusia awal atau pertengahan duapuluhan. Kepada mereka, Mitra Netra memberikan pendampingan agar mereka dapat menempuh pendidikan kesetaraan; Paket A, Paket B dan Paket C. Waktu tempuh untuk menyelesaikan ketiga jenjang pendidikan tersebut adalah 6 tahun. Artinya, setelah lulus Paket A, mereka baru dapat menempuh ujian Paket B setelah dua tahun kemudian.

Indonesia telah menjalankan “wajib belajar 12 tahun”. Artinya, setiap anak bangsa, sekurang-kurangnya harus berpendidikan SMA atau yang sederajat.

Dengan kondisi sebagaimana diceritakan di atas, bukan tidak mungkin, tunanetra baru menyelesaikan pendidikan SMA di usia lebih dari 25 tahun. Dan, jika untuk pekerja seperti operator telepon, call center, dan yang sejenis itu, memberikan batasan usia maksimal 25 tahun, tunanetra sudah tereliminasi pada “seleksi berkas”.

Bagaimana solusinya?

Pertama, harus ada “kompromi batasan umur untuk tunanetra”.

Kompromi ini tak bisa dihindari. Dan untuk itu, perlu ada dialog yang konstruktif dengan perusahaan yang berniat merikrut tunanetra berkarya bersama mereka. Sebagai pusat sumber yang memberdayakan tunanetra di bidang pekerjaan, Mitra Netralah yang melakukan itu. Konselor bimbingan karir Mitra Netra menyampaikan pada perusahaan kondisi riil tunanetra di Indonesia.

Kedua, mengajak perusahaan lebih fokus pada kompetensi yang diperlukan.

Mitra Netra menjelaskan bahwa, tunanetra yang telah dibina di pusat sumber ini memiliki kompetensi yang diperlukan untuk pekerjaan-pekerjaan atau posisi yang proses rikrutmennya sedang dilakukan. Hal ini dapat dibuktikan saat proses rikrutmen berlangsung, baik melalui wawancara, maupun melalui uji kompetensi teknis melalui simulasi kerja.

Masyarakat, bahkan lembaga pemerintah pun, perlu diberi informasi. Banyak di antara para pemberi kerja, baik lembaga pemerintah maupun swasta, yang tidak atau belum memahami persoalan yang ada. *Aria Indrawati.

Leave Comment