Nama perempuan itu Marta. Ia jadi tunanetra tahun 2008 – edult blind. Atau orang yang menjadi tunanetra di usia dewasa. Profesi Marta sebelumnya adalah seorang penata rambut. Dan, setelah jadi tunanetra karena suatu hal, – sakit dan hampir meninggal -, ia tetap menjalani profesinya sebagai penata rambut, pekerjaan yang semua orang tahu sangat visual, Dahsyat bukan?

Ia mengelola salon sendiri di ruang bawah tanah rumahnya yang berada di negara bagian Virginia. Marta punya seratus orang pelanggan tetap, yang datang padanya dengan setia, sejak ia belum tunanetra hingga kini. Belum lagi pelanggan tak tetap.

Saat memotong dan menata rambut pelanggannya, Marta menggunakan indera perabaannya. Dan di sinilah pelanggan juga mengambil peran, “menjadi mata untuk marta”.Luar biasa! Dan saat VOA — Voice Of America — mewawancarai para pelanggan itu, mereka bilang mereka puas. Dalam bekerja, tentu, Marta menggunakan memorinya – tentang bagaimana menata rambut – yang biasa ia lakukan sebelum ia jadi tunanetra.

Yang penting dicermati di sini adalah, Marta bisa begitu karena dukungan masyarakat. Kebutaan baginya bukan akhir segalanya. Hidup Marta tetap berjalan sebagaimana sebelumnya, hanya kini ia harus melakukannya dengan cara yang sedikit berbeda. Masyarakat, terutama para pelanggannya, tetap percaya pada kompetensinya, sebagai penata rambut, meski kini ia buta.

Penyandang disabilitas tak akan terhambat melakukan apa yang mereka mampu lakukan, jika masyarakat memberikan dukungan.

Banyak orang yang menjadi tunanetra di usia dewasa seperti Marta di negeri kita, yang diam saja di rumah, karena masyarakat, termasuk keluarga mereka, berpendapat, setelah orang jadi buta, itu adalah “akhir dari dunia, akhir segalanya.”

Itu sebabnya, Didi Tarsidi — Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) — yang sehari-hari mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia UPI Bandung, dalam disertasinya, membantah anggapan yang tertulis di literatur bahwa, mereka yang jadi tunanetra di usia dewasa tak akan sukses hidupnya. Dan salahs atu model yang dipilih adalah Bambang Basuki — Direktur Yayasan Mitra Netra — yang menjadi tunanetra paska menyelesaikan SMA.

Bambang Basuki dipilih memimpin Mitra Netra, karena para pengurus yang tidak tunanetra percaya ia mampu memimpin Mitra Netra. Dan tentu, Bambang juga membuktikannya!

Adalah benar jika dikatakan bahwa, tingkat peradaban suatu negara antara lain dapat diukur dari bagaimana masyarakat dan pemerintah negara itu memperlakukan penyandang disabilitas.

Jadi, mari kita bangun Indonesia menjadi negeri yang lebih beradab. Mari kita semua berperan memberdayakan penyandang disabilitas sesuai kapasitas kita masing-masing; memperlakukan mereka sebagai manusia dan memanusiakan mereka. *Aria Indrawati

Leave Comment