Pagi itu, tanggal 19 April, aku mendapat tugas menjadi moderator pada seminar menumbuhkan jiwa kewirausahaan birokrat untuk meningkatkan produktifitas, yang diselenggarakan Balai Besar Peningkatan Produktifitas BBPP Kementerian tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Seminar ini diadakan sebagai rangkaian acara peresmian gedung BPPP oleh menteri tenaga kerja Muhaimin Iskandar.

Saat kepala BBPP menyampaikan laporan kepada Bapak menteri, ia menyebutkan bahwa seminar akan dimoderatori oleh seseorang yang secara fisik kurang beruntung, yaitu seorang tunanetra, tapi juga berprestasi. Kurang beruntung. Begitu ia menyebutkan. Jadi, tunanetra itu kurang beruntung.

Saat pembukaan seminar yang dilakukan oleh Ibu Muhaimin Iskandar, karena Bapak Menteri harus segera menuju Istana Bogor untuk menghadiri sidang kabinet bersama Bapak Presiden, Kata orang yang kurang beruntung itu sekali lagi kudengar. Kali ini diucapkan oleh MC saat ia memperkenalkan aku pada para hadirin.

Benarkah itu?

Kata-kata yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang tidak atau kurang beruntung memang acap kudengar. Diucapkan oleh pesiar agama, orang-orang mampu yang ingin berderma, para cendekia, pendidik, serta para birokrat. Ini mencerminkan persepsi masyarakat dan penyelenggara negara terhadap penyandang disabilitas.

Jika demikian, ini tentu akan berpengaruh pada bagaimana mereka menyikapi penyandang disabilitas. Jika persepsi ini dimiliki oleh para birokrat yang memiliki kewenangan membuat kebijakan, persepsi ini akan mempengaruhi kebijakan yang dibuatnya. Jika pengaruhnya positif, ya, itu baik. Misalnya, karena mereka menganggap penyandang disabilitas orang yang kurang beruntung, lalu mereka mengalokasikan anggaran yang cukup untuk memenuhi hak-hak mereka. Tentu ini baik. Tapi, jika pengaruhnya negatif, tentu akan membuat orang yang dianggap tidak atau kurang beruntung ini menjadi lebih tidak beruntung. Misalnya, karena dianggap tidak beruntung, negara memandang tidak perlu mengalokasikan dana yang cukup untuk mereka, karena dianggap sebagai investasi yang sia-sia.

Bagaimana memperbaikinya?

Mitra Netra punya cara melakukannya. Sebagai penyedia layanan untuk tunanetra, Secara terus-menerus lembaga ini mempublikasikan prestasi tunanetra di bidang yang menjadi ranah kerja Mitra Netra; pendidikan dan pekerjaan. Dengan dukungan Mitra Netra, Tunanetra dapat bersekolah di sekolah umum hingga perguruan tinggi. Tunanetra dapat bekerja di perusahaan, melakukan bidang-bidang pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Hal ini dimunginkan karena tunanetra dapat memanfaatkan teknologi komputer, sama seperti mereka yang tidak tunanetra.

Di bidang publikasi dan kampanye kesadaran, sejak Oktober tahun 2010, Mitra Netra dengan dukungan para relasi yang memiliki visi dan misi yang sama, menerbitkan majalah dengan nama diffa; different and special, berisi informasi tentang disabilitas. Melalui majalah diffa, Mitra Netra ingin mengajak masyarakat memahami bahwa disabilitas merupakan bagian dari perbedaan.

Hardiknas Dan Disabilitas.

Hari ini, tanggal dua Mei. Kita kembali memperingati hari pendidikan nasional. Jika bangsa ini masih berpikir para penyandang disabilitas adalah orang-orang yang kurang atau tidak beruntung, yang kemudian berakibat pada lemahnya kebijakan dan dukungan terhadap para penyandang disabilitas, maka diperlukan upaya-upaya serius untuk meluruskan pandangan yang keliru tersebut.

Peraturan Menteri tentang pendidikan inklusif, sistem pendidikan yang memberikan hak pada anak dengan disabilitas atau anak berkebutuhan khusus untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, baru dimiliki tahun 2009. Mungkin Masih butuh waktu untuk merealisasikannya. Untuk merealisasikan pendidikan inklusif, dibutuhkan dana yang memadai. Dalam sistem pendidikan inklusif, setiap siswa, termasuk siswa dengan disabilitas, harus dianggap pribadi yang unik. Mereka punya kebutuhan khusus yang berbeda satu sama lain. Dan itu harus dipenuhi. Jadi, bukan karena mereka tidak atau kurang beruntung.

Bagaimana Menyikapi Disabilitas?

Menjadi penyandang disabilitas bukanlah pilihan. Tak ada seorang pun yang ingin atau meminta dilahirkan menjadi penyandang disabilitas. Tak ada satu orang tua atau keluarga pun yang meminta pada Tuhan untuk diberi anak dengan disabilitas. Dan, Tuhan pun juga tak memberikan tawaran atau pilihan.

Disabilitas adalah fakta, yang harus diterima, dihadapi dan dijalani. Berarti, ada pesan dibalik ini semua. Tugas kita adalah mempelajari dan menangkap pesan tersebut, untuk kemudian melaksanakannya. Disabilitas menjadi bermasalah, karena lingkungan yang kurang atau tidak mendukung. Namun, jika lingkungan memberikan dukungan, memenuhi apa yang dibutuhkan, disabilitas bukan masalah.

Mitra Netra telah membuktikannya. Dengan memiliki akses ke teknologi informasi dan komunikasi, tunanetra dapat belajar dan bekerja secara mandiri. Dengan memiliki ketrampilan orientasi dan mobilitas, tunanetra dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik, mandiri, dapat meminimalkan ketergantungan pada orang lain.

Tuhan berkata selalu ada aku dalam setiap ciptaanku. Jika kau menghina atau merendahkan ciptaanku, berarti kau menghina atau merendahkan aku. *Aria Indrawati.

Leave Comment