“Dorong bahunya”,……Putar pinggangnya”!……”lagi!…..Lagi!”….. “Pukulnya dengan tangan kiri ya”!

Suaranya keras dan tegas saat mengajar. Itulah Lee Chung Gi, yang lebih akrab disapa “Leo”. Pria yang berprofesi sebagai “pelatih golf” asal Korea Selatan. Leo telah empat tahun tingal di Indonesia. Dan satu tahun terakhir ini, saya telah menjadi salah satu muridnya. Saya adalah murid tunanetra Coach Leo yang pertama di Indonesia. Karena ialah, kini saya bisa bermain golf. Kemauannya berbahasa Indonesia sangat kuat. Meski pada awalnya agak membingungkan. Lama-kelamaan saya terbiasa dengan caranya berbahasa Indonesia.

Pertemuan saya dengan Coach Leo tak pernah saya rencanakan sebelumnya. Saya juga bahkan tak pernah berpikir bahwa saya akan belajar bermain golf dan bisa bermain golf dengan baik. Tapi saya juga percaya, tak ada yang kebetulan di kehidupan ini. Semua sudah direncanakan. Yang sering terjadi adalah, kita manusia tak bisa sepenuhnya memahami rencana-rencana itu.

Setelah dua tahun tinggal di Indonesia, Leo yang juga mengajar tunanetra bermain golf di negeri gginseng asalnya, mulai mencari-cari tunanetra di Jakarta dan sekitarnya yang bersedia belajar golf bersamanya. Dibantu Lee Shang Wan, seorang teman sesama orang Korea yang telah lebih lama tinggal di Indonesia dan yang telah lebih mahir berbahasa Indonesia, Leo dan Lee Shang Wan yang biasa disapa “Daniel” mengunjungi beberapa tempat tunanetra beraktifitas, baik di Jakarta maupun Bandung. Pada kunjungannya itu, Leo menawarkan apakah ada tunanetra yang mau belajar main golf dengannya. Namun, tak satu pun tunanetra yang dijumpainya merespon. Bahkan beberapa dari mereka sempat berpikir bahwa Leo akan “mencari keuntungan” dengan mengajar golf pada para tunanetra.

Hingga akhirnya pada suatu pagi di bulan November tahun 2012, setelah sempat salah jalan beberapa kali, akhirnya leo bertemu saya di kantor Mitra Netra. Sebagaimana kunjungannya ke tempat-tempat sebelumnya, Leo juga ditemani Daniel yang bertindak sebagai penerjemah untuknya. Daniel berbicara dalam bahasa Inggris dengan saya, lalu ia menerjemahkan dalam bahasa Korea untuk Leo. Kala itu, Leo menceritakan siapa dia, apa yang dikerjakan selama ini bersama tunanetra di korea, dan berniat mengajak saya belajar mengenal permainan golf.

Seperti kebanyakan orang, saya juga berpendapat bahwa golf adalah olahraga mahal, dan hanya orang-orang berkantong tebal saja yang bisa melakukannya. Kala itu saya juga berpendapat bahwa golf adalah olahraga yang sangat membutuhkan penglihatan, dan belum ada metode adaptasi yang dilakukan, sehingga tunanetra tidak mungkin bermain golf.

Leo merespon semua itu dengan penjelasan, dan ajakan untuk datang ke “Power Golf Accademy (PGA)”, tempat yang ia desain untuk mereka yang belajar bermain golf. “coba saja dulu, Aria”, kata Leo dalam bahasa Korea. “Jika suka, kita teruskan, jika kamu tidak suka ya, tak apa-apa, yang penting kamu sudah mencoba”, begitu ia menjelaskan. Akhirnya saya sepakat ingin mencoba dulu, dan Daniel berjanji menjemput saya di rumah dan mengantar ke PGA tempat belajar bermain golf yang berada di kawasan Lippo Karawaci, Tangerang.

Setelah pertemuan dengan Coach Leo di Mitra Netra, saya menghadiri konferensi World Blind Union (WBU) di Bangkok. Pada salah satu sesi diskusi paralel, saya memilih topik “olahraga bagi tunanetra” yang diorganisir oleh “International Blind Sport Association (IBSA)”. Di sesi ini, setelah mendengarkan apa saja yang selama ini IBSA lakukan, para peserta diminta sharing informasi tentang kegiatan olahraga di negara masing-masing, termasuk saya yang mewakili Indonesia. Saat itulah saya mendengar beberapa orang dari negara-negara maju, seperti Canada, Australia, menceritakan bahwa mereka bermain “golf”. “Wow, ternyata mereka sudah mulai; Ok, Indonesia juga harus mulai. Dan sayalah yang akan memulainya”, begitu pikir saya setelah mendengar kisah mereka.

Kaget dengan suara Bola.

PGA adalah tempat di dalam ruangan yang derancang untuk belajar bermain golf. Berada di lantai 2 sebuah ruko, yang menyatu saja dengan kegiatan bisnis Leo yang lain. Ada dua ruangan di sana. di dalam ruangan itu ada tempat yang ketika saya sentuh dengan kaki seperti naik ke atas panggung. Tidak tinggi, kira-kira hanya 20 senti. Panggung itu ditutup dengan karpet berwarna hijau. Itulah lapangan golf mini di dalam ruangan.

Satu ruangan dilengkapi dengan “golf screen”, yaitu satu set perlengkapan yang terdiri dari komputer lengkap dengan software khusus yang berfungsi sebagai simulator bermain golf, LCD proyektor, berikut alat-alat lainnya; semuanya itu merupakan “simulator” yang memungkinkan pengguna bermain golf, seolah-olah sedang berada di lapangan. Sedang ruang lainnya derancang untuk berlatih saja, tanpa dilengkapi “golf screen”. Di salah satu sisi ruangan itu ada sederetan stik golf disusun berjajar. Ada driver, iron, picher, dan putter.

Setelah berbasa basi sebentar, Coach Leo mulai memperagakan cara memukul bola. “duuuuk!”, begitu suaranya. Keras sekali, sangat mengejutkan saya. Itu suara bola golf dipukul dengan stik, dan bola itu membentur dinding.

“Aria bisa dengar suaranya kan?”, tanya Leo dalam bahasa Indonesia. Itu untuk pertama kalinya saya mendengar Leo berbahasa Indonesia.

Saya jawab: “ya”.

“Bagaimana suaranya?”, tanya Leo lagi.

“Keras sekali”, jawab saya.

“Jangkauan pukulan tadi kira-kira lebih dari seratus meter”, tambah Daniel.

“Jauh ya”, komentar saya sambil senyum.

Saya dengar setelah itu Leo masih memukul bola beberapa kali dengan stik yang berbeda, lalu berhenti. Ia menjelaskan bahwa, dalam bermain golf, pada prinsipnya tunanetra sama saja dengan mereka yang tidak tunanetra. Menggunakan lapangan yang sama, menggunakan stik yang sama, dan memukul bola yang sama, yang tidak dilengkapi dengan bunyi-bunyian sebagaimana bola sepak dan bola ping pong untuk tunanetra. Perbedaannya hanya ada dua saja. Pertama, dalam bermain golf, tunanetra dibantu oleh seorang pemandu atau yang biasa disebut “sighted guide”. Tugas pemandu ini membantu memposisikan stik pada bola yang akan dipukul, juga membantu tunanetra berdiri pada posisi yang tepat, agar tunanetra dapat memukul bola ke arah yang benar. Kedua, dalam kompetisi golf tunanetra, jika tunanetra memukul bola dan stik tidak mengenai bola yang hendak dipukul, pemain tidak dikenakan penalti. Ia diperbolehkan mengulangi pukulan bolanya, sampai menganai bola yang hendak dipukul tersebut.

“Okay, sekarang Aria coba ya”, kata leo.

Leo memberikan sebuah sarung tangan yang harus saya pakai, lalu menyerahkan sebuah stik golf. Setelah itu, saya mulai. Dan, ternyata tidak mudah.

Metode Mengajar Khusus.

Untuk mengajar golf kepada tunanetra – yang tidak bisa melihat atau kurang dapat melihat dengan baik, diperlukan metode mengajar yang berbeda dengan mereka yang tidak tunanetra. Segala sesuatunya harus dijelaskan dengan kata-kata, diperagakan oleh pelatih, dan tunanetra harus menyentuh/meraba apa yang dilakukan sang pelatih agar bisa menirukannya dengan baik. Meraba mulai dari kaki, tangan bahkan hingga jari-jarinya, punggung dan pinggang, leher, bahu hingga kepala. Saat tunanetra menirukan gerakan-gerakan bermain golf yang diajarkan, pelatih pun juga melakukan koreksi jika terjadi kesalahan. Koreksi dilakukan secara langsung, dengan membetulkan kesalahan-kesalahan yang masih dilakukan muridnya.

Sama seperti mengajarkan hal-hal lainnya, Agar dapat mengajar golf dengan baik kepada tunanetra, sang pelatih harus memiliki “rasa empati yang baik” terhadap tunanetra. Dan itu telah dimiliki oleh Coach Leo. Ia telah menjadi pelatih golf tunanetra di Korea selama lebih dari 15 tahun. Leo telah memiliki “cara pandang ” tunanetra akan sesuatu. Itu sebabnya ia dapat mengajar bermain golf dengan baik kepada tunanetra, baik yang totally blind maupun yang low vision. Hasilnya pun membanggakan. Di kompetisi-kompetisi golf untuk tunanetra, murid-muridnya senantiasa meraih gelar juara. Leo sangat dicintai murid-muridnya. Tak heran, mereka merasa kehilangan saat mengetahui ia hijrah ke Indonesia.

Salah satu metode khusus sederhana yang Leo ciptakan adalah bagaimana ia membantu tunanetra tetap berdiri di tempat yang sama dan menghadap ke arah yang benar saat berlatih. Untuk membantu tunanetra agar tetap berdiri di posisi yang sama sepanjang sesi latihan, Leo menempatkan dua buah kayu dalam posisi sudut siku 90 derajat, yang ditancapkan di atas karpet. Tunanetra yang sedang belajar, melakukan gerakan-gerakan memukul bola, harus tetap berdiri di dalam “siku kayu” tersebut. Dengan demikian, fungsi “siku kayu” ini adalah membantu tunanetra agar tetap berdiri di tempat yang sama, dan menghadap ke arah yang benar.

Membutuhkan Waktu Lebih Lama.

Mengajar golf kepada tunanetra, di samping membutuhkan kesabaran, juga membutuhkan waktu lebih lama. Itulah yang sering Coach Leo katakan kepada saya. Kesabaran tidak hanya harus dimiliki sang pelatih, namun juga tunanetra yang memang berniat belajar bermain golf dengan sungguh-sungguh. “Aria harus sabar ya, tak usah buru-buru, belajar golf tidak mudah, butuh waktu”, begitu tuturnya.

Di samping berlatih sekali seminggu di PGA, saya juga harus sering berlatih di rumah. Latihan gerakan. Posisi dan Gerakan kaki, memutar pinggang dan pinggul ke kiri dengan posisi bahu tetap berada di depan, latihan mengayunkan stik dengan kekuatan utama pada tangan kiri, sementara tangan kanan hanya membantu. Di samping berlatih gerakan-gerakan memukul bola, ada juga latihan gerakan sebagai pendukung, yang fungsinya adalah melatih “kelenturan tubuh dan kekuatan otot”. Misalnya, latihan mendorong bahu ke kanan dan ke kiri, dengan posisi tubuh tegak, pinggang dan kepala tetap mengarah ke depan. Yang kita gerakkan ke kanan dan ke kiri hanya bahu kita. Latihan menguatkan tiga jari tangan kiri, yaitu kelingking, jari manis dan jari tengah; ketiga jari inilah yang bertugas memegang stik. Gerakan-gerakan tersebut harus sering dilakukan, agar tubuh kita terbiasa dengan gerakan-gerakan tersebut, otot-otot pun terbentuk untuk melakukan gerakan-gerakan bermain golf.

Ditinjau dari sisi “postur tubuh”, sebenarnya saya bukan sosok yang ideal untuk bermain golf. Postur tubuh saya tidak tinggi – kurang lebih 155 senti. Hal lain yang tidak terlalu menguntungkan adalah “bentuk punggung bagian bawah yang melengkung ke dalam”. Bentuk punggung yang seperti ini berdampak pada lemahnya tenaga saat memukul bola. Namun, menurut Coach Leo, segala “handicap” yang saya miliki tersebut masih dapat diatasi, termasuk bentuk punggung yang melengkung ini. Kuncinya hanya satu, sering berlatih, termasuk “berlatih meluruskan punggung bagian bawah”.

Itulah yang saya lakukan selama satu tahun ini. Banyak berlatih, baik di tempat latihan maupun di rumah. Dan hasilnya pun mulai tampak. Sejak bulan Oktober 2013, secara rutin setiap minggu– seusai melakukan latihan-latihan teknik, Coach Leo selalu meminta saya “bermain”. Bermain sungguhan dengan “golf screen”. Kemajuan pun secara bertahap saya capai. Saya telah mulai dapat menggunakan “kelenturan tubuh saya” untuk memukul bola, bahkan memasukkan bola ke dalam whole. “Aria sudah mulai jadi”, begitu komentar Coach Leo seusai latihan di suatu hari Minggu siang.

Guru yang Galak.

Sebagai pelatih, Coach Leo adalah pelatih yang profesional dan “keras”. Ia senantiasa menginginkan segala sesuatunya “sempurna”. Mulai dari cara memegang stik, posisi berdiri, teknik memukul bola, hingga “finishing”. Semuanya harus benar. Jika salah, ia akan langsung mengatakannya. “Itu salah, out in, yang benar in out”, serunya sambil berdiri dengan tangan di pinggang.

Jika saya melakukan kesalahan, maka saya harus mengulanginya sampai benar, beberapa kali. “Nah! Itu benar!”, begitu serunya jika saya telah melakukan gerakan dengan benar. “mengerti ya?”, begitu akhirnya.

“Sesi penyiksaan”, begitu kami – para tunanetra murid Coach leo menyebut, saat kami menjalani sesi latihan teknik yang keras. Setelah mengikuti sesi latihan teknik yang keras, biasanya keringat mengucur dengan sangat deras membasahi seluruh tubuh dan bahkan baju kami. “Sesi penyiksaan” inilah yang selalu membuat saya harus ganti baju hingga dua kali sepanjang kurang lebih dua jam berlatih di PGA setiap akhir minggu.

Saat ini, ada tiga tunanetra yang belajar bersama Coach Leo. Saya sendiri, Juwita – mahasiswa Universitas Muhamadiyah Jakarta jurusan komunikasi, dan Oki – siswa SMA negeri 66 kelas 12.

Di sesi istirahat – biasanya di sela-sela sesi belajar teknik gerakan, Coach leo senantiasa mengajak kami murid-muridnya berdiskusi. Menanyakan bagaimana perasaan kami, apa kesulitannya, hingga membuat summary dari sesi-sesi yang telah kami jalani. Salah satu pertanyaannya di sesi istirahat adalah “Bagaimana, gurunya harimau ya?”. Ia sadar bahwa ia pelatih yang keras, dan olehkarenanya ia menyebut dirinya sendiri “harimau”.

Sebagai seorang pelatih golf, Leo sangat profesional. Meski ia berkebangsaan Korea, karena sekarang ia di Indonesia dan melatih tunanetra Indonesia, ia menginginkan kami suatu hari nanti menjuarai kompetisi-kompetisi golf untuk tunanetra, bahkan mengalahkan murid-muridnya di Korea. “Sekarang berlatih dulu yang rajin, nanti di tahun 2016 tunanetraIndonesia bisa ikut bertanding golf di olimpiade Brazil”, begitu katanya menyemangati kami.

Di balik kekerasannya, Coach Leo juga sosok yang lucu. Ia suka becanda. Ia juga hobi menyanyi. Suaranya bagus. Ia senang menyanyikan lagu-lagu Indonesia tempo dulu. Salah satu lagu favoritnya adalah “Bengawan Solo”.

Jatuh Cinta Pada Golf.

Ada rasa yang muncul tak terduga. Rasa itu muncul hanya dalam beberapa minggu saat saya mulai belajar bermain golf. “Rasa tak mau berhenti”, lalu rasa senang, dan akhirnya “cinta”.

Banyak manfaat yang saya petik dari belajar bermain golf sepanjang satu tahun ini. “Membangun mental juara”, adalah salah satunya. Betapa tidak. Saya harus berjuang mengalahkan diri sendiri terlebih dahulu, sampai akhirnya dapat mengikuti sesi latihan dengan senang dan gembira, meski tidak mudah. Makin berkembangnya “mental juara” pada diri saya tentu berdampak pada aspek kehidupan yang lain. Dan untuk itu saya sangat mensyukurinya.

Menjadi lebih sehat dan langsing, itu pasti. Olahraga memang tak tergantikan. Setelah beberapa tahun berusaha keras menormalkan berat badan dan merasa angka timbangan tak bergerak turun, bahkan cenderung selalu naik, berlatih golf memberi solusi. Kini saya merasa sangat nyaman dengan tubuh saya sendiri, termasuk bentuk punggung yang membaik.

Kecintaan saya pada golf telah saya sampaikan pada Coach Leo di beberapa bulan pertama setelah saya mulai berlatih. “Ya, saya tahu, Aria Senang”, begitu katanya sambil tertawa. Meski, ia juga tahu, saat pertama kali ia bertemu saya di Mitra Netra dan menjelaskan bahwa tunanetra bisa bermain golf, saya juga sempat tidak percaya.

Saya telah memutuskan untuk menjadi “role model” tunanetra bermain golf di Indonesia. Dengan memberi contoh terlebih dahulu, saya berharap, perlahan tapi pasti, akan ada tunanetra-tunanetra muda yang mengikuti jejak saya. Apa yang telah dicapai oleh tunanetra di Korea Selatan dan negara-negara maju lain akan saya bangun pula di Indonesia. “Tunanetra menjadi atlet golf profesional.; membangun karir di bidang ini, dan menjadikan bermain golf sebagai “sumber penghasilan”. *Aria Indrawati.

http://youtu.be/WWIBu9h_TaI

Leave Comment