Karya : Jejen Juanda

Begitu banyak orang yang sangat membutuhkan uang, banyak orang yang rela kehilangan sanak saudara hanya karena uang.

Uang, uang, uang lagi yang selalu menjadi penyebab manusia ini lupa daratan. Padahal itu semua hanya fitnah semata, karena uang hanya alat yang digunakan sebagai nilai tukar dari apa yang diinginkan manusia. Dan manusia yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya, akan mengorbankan apapun untuk uang ini demi tercapainya segala keinginan duniawi dan harapannya.

Tanpa adanya uang, dia tidak dapat makan dan tidur dengan nyaman. Seolah-olah uang ini adalah segala-galanya yang
paling berkuasa dalam hidupnya.

Bahkan aku sendiri hampir tidak bisa mengelola uang yang aku miliki. Tapi untungnya, sejak aku masih kecil, sudah banyak belajar dan ikut serta dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan.

Di usia lima tahun, aku sudah merasakan indahnya hasil menabung. Meskipun baru menabung dalam sebuah celengan tanah liat yang berbentuk boneka Semar Badranaya dalam tokoh pewayangan, tapi waktu itu aku sudah bisa menikmatinya untuk membeli beberapa pakaian untuk menyambut hari lebaran.

Ibu dan Nenekku memang selalu memberiku uang, tapi mereka pasti tidak senang bila aku menggunakan uang itu sebelum menyisihkan terlebih dulu untuk mengisi celengan atau menabung di sekolah. Sebab itu, aku sudah terbiasa untuk menabung hingga saat ini. Namun, seiring dengan berjalannya waktu ternyata uang mengalami inflasi yang sangat buruk. Sehingga, meskipun aku banyak menabung di celengan, apalagi di bank, harganya akan turun sangat jauh dan merugikan.

Oleh karena itu, sejak aku menginjak usia dua belas tahun, aku mulai menyukai pendidikan yang berhubungan dengan usaha dan pengelolaan keuangan.

Waktu itu, untuk pertamakalinya di Kota Tasikmalaya diadakan pelatihan dan pemberian bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dari Provinsi Jawa Barat untuk disabilitas. Alhamdulillah, pada akhir tahun 2004 aku mulai membuka usaha dengan menjual isi ulang pulsa di sekolah.

Dan setelah tiga tahun berjalan, aku akhirnya menjadi salah satu penerima bantuan dari dana UEP dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sejak saat itu, aku makin bersemangat untuk menjadi seorang penjual, bahkan bantuan itu tidak hanya digunakan untuk meningkatkan modal isi ulang pulsa aja, sebagian aku gunakan untuk melakukan jual beli HP yang sasaran konsumennya adalah teman-teman tunanetra di Kota Tasikmalaya dan Ciamis. Selain menghasilkan uang, ternyata usaha itu banyak juga menambah pengetahuan bagiku. Karena sebagian besar tunanetra di sana, belum terlalu familiar dengan adanya screen reader yang dapat digunakan untuk membuat sebuah ponsel bisa bicara.

Aku saja, kalau tidak karena iseng-iseng main ke Kota Bandung, mungkin tidak akan pernah tahu hal itu. Karena di SLB yang ada di Kota Tasikmalaya, belum ada yang memakai ponsel dengan screen reader.

Selain jualan pulsa dan HP, aku juga membuka jasa pemasangan screen reader dengan bayaran seadanya, sekaligus mengajarkan mereka untuk menggunakannya sampai bisa berselancar di internet atau berkirim pesan melalui SMS.

Untuk menabung, saat itu aku membuka tabungan di Bank Rakyat Indonesia (BRI) tanpa kartu ATM. Tapi itu tidak lama, karena pada tahun 2010, aku mengambil semua uang dalam tabungan demi membeli sebuah komputer PC untuk belajar. Sebenarnya agak nyesal juga waktu itu aku menutup tabungan di BRI, karena beberapa tahun kemudian, kaum tunanetra tidak bisa membuka tabungan lagi di BRI. Katanya demi alasan keamanan, karena kaum disabilitas netra ini tanda tangannya bisa ditiru, dan dianggap tidak bisa menggunakan kartu ATM secara mandiri.

Padahal, sebetulnya tidak semua tunanetra seperti itu. Masih banyak cara untuk membuat tunanetra mengerti dan bisa menggunakan fasilitas perbankan dengan baik. Pada tahun 2012, terpaksa aku harus membuka tabungan di Bank Jabar untuk menerima Bantuan Operasional Sekolah dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan mengajukan permohonan untuk melakukan pencairan melalui bank yang berbeda karena tidak dapat membuka rekening di BRI lagi.

Anehnya, waktu aku buka tabungan di Bank Negara Indonesia (BNI) untuk pembayaran BPJS kesehatan, aku masih bisa, bahkan diperbolehkan untuk memiliki kartu ATM kalau mau upgrade ke tabungan konvensional. Sejak saat itu, aku mulai berhati-hati dengan bank, semua tabungan yang kumiliki selalu kupertahankan meskipun saldonya sangat minim. Aku khawatir tidak bisa lagi untuk punya akun di bank karena kebijakan cabang dan pusat mulai berbeda.

Setelah aku belajar di Jakarta pada tahun 2013, aku baru merasakan betapa besarnya pengaruh inflasi terhadap uang ditambah dengan beban biaya administrasi dari bank. Meskipun modal sudah mencapai lima juta rupiah, ternyata setelah ditabung di bank itu malah nilainya semakin berkurang dan semakin sedikit. Harga barang semakin tinggi dan penjualan pulsa yang menurun adalah salah satu penyebab menurunnya usahaku waktu itu. Hal ini yang menjadikan tabunganku di bank semakin berkurang.

Akhirnya tabunganku kembali ke sebuah celengan tanah liat. Tapi itu pun tak banyak membantu, karena meskipun bisa menghindari biaya administrasi, inflasi terhadap uang yang disebabkan karena meningginya harga keperluan pokok terus terjadi. Dari situ, aku mulai berpikir untuk mencari solusi dengan mengikuti sekolah pasar modal yang diadakan oleh MNC Sekuritas di Bursa Efek Jakarta.

Dari situ aku mulai belajar berinvestasi dengan membeli saham, dan mulai menginvestasikan sebagian dari hasil usahaku untuk membeli satu lot saham PT Sidomuncul. Sekarang, tinggal usaha dan mencari kerja. Karena menginvestasikan hasil usaha di pasar modal itu sifatnya untuk jangka panjang. Jika menabung hanya untuk diambil dalam waktu satu atau dua tahun dalam investasi saham, mungkin tidak akan ada hasil yang signifikan.

Karena terasa belum puas, akhirnya aku terus belajar, belajar, dan belajar lagi bagaimana caranya mengelola uang dengan baik dan tepat. Akhirnya, setelah mengikuti literasi Pegadaian Emas dari OJK, aku mulai berpikir bagaimana caranya menyimpan harta untuk masa tuaku nanti.

Ini memang terasa begitu sulit. Kebutuhan semakin meningkat, setelah berkeluarga beban jadi bertambah. Tentu menyimpan dan menyisihkan sedikit uang untuk menabung emas dan membeli saham di pasar modal ini pun menjadi berat.

Tapi karena aku seorang tunanetra, aku harus tetap berusaha, karena seorang tunanetra itu sulit untuk mendapatkan usaha yang maksimal. Mungkin bagi yang normal dapat bekerja serabutan, tapi bagi tunanetra sepertiku ini, hanya bisa berjualan dengan pesaing yang semakin banyak, atau menjadi pemijat yang juga risikonya cukup besar. Karena pemijat pun tidak hanya tunanetra yang menggelutinya.

Ya, demi kehidupan dan masa depanku nanti, aku harus bisa menjaga diri dari inflasi yang terjadi pada setumpuk uang dan kesulitan dalam mencari sumber penghasilan. Karena bagi kita yang lebih penting tidak hanya memiliki sejumlah uang, tapi menjaga daya beli uang itu di masa depan.

* Karya ini berasal dari buku “Melihat Dengan Hati: Sketsa Cerita 13 Tunanetra” yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 2018. Buku ini merupakan kumpulan tulisan tunanetra yang mengikuti Workshop Menulis Kreatif yang diadakan OJK bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra.

Leave Comment