smart phone layar sentuh di atas meja sedang disentuh layarnya dengan jari seseorang

Dalam acara Forum Grup Discussion (FGD) yang diselenggarakan Dewan Pers akhir tahun 2020, terselip pertanyaan, apakah penyandang tunanetra dapat mengakses informasi yang tersaji di laman (website) media massa? Pertanyaan ini mengemuka ketika Dewan Pers akan Menyusun Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas (PPRD).

Aksesibilitas memang menjadi isu yang terus diperjuangkan, dan menjadi harapan bagi penyandang disabilitas, dalam konteks ini penyandang tunanetra. Aksesibilitas di segala aspek kehidupan, tak terkecuali teknologi. Saat ini teknologi sudah berkembang demikian pesatnya. Bagi masyarakat, tak terkecuali penyandang tunanetra yang tidak mampu beradaptasi dengan teknologi, atau dengan kata lain tidak mampu mengoperasikannya, maka ia akan banyak tertinggal. Dalam banyak hal, teknologi membantu mobilitas penyandang tunanetra dalam beraktivitas dan memenuhi kebutuhan dan kepuasan hidupnya, seperti melakukan transaksi keuangan, perdagangan, transportasi, dan sebagainya. Selain itu teknologi juga dapat membantu memperoleh informasi tertulis yang up to date seperti artikel, berita, makalah yang ditayangkan secara online, melakukan komunikasi tertulis, mengakses bahan referensi dan mengerjakan tugas serta evaluasi di bidang pendidikan, mengakses data lembaga dan mengerjakan tugas administratif perkantoran berikut pengarsipannya, mengakses bahan rapat, seminar, lokakarya, pelatihan dengan mudah, dan seterusnya.

Aksesibilitas secara sederhana bisa diartikan sebagai tindakan untuk menghilangkan hambatan yang dimiliki seseorang dengan menggunakan cara, metode, atau sarana yang memudahkannya melakukan kegiatan. Sayangnya, hingga saat ini masih banyak penyandang tunanetra yang belum bisa mengakses teknologi informasi dan komunikasi. Padahal, akses informasi dan komunikasi ini penting, karena banyak pengetahuan diperoleh guna memenuhi aspek kebutuhan penyandang tunanetra. Lagipula, memperoleh informasi adalah hak semua warga negara, tak terkecuali penyandang tunanetra. Prinsip ini sejalan dengan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang sudah diregulasikan.

 

Inklusif sebagai Kata Kunci

Untuk mencapai aksesibilitas, gerbang inklusif harus terlebih dulu dibuka. Artinya, inklusif adalah kata kunci untuk memulai keran aksesibilitas. Masyarakat perlu memiliki kesadaran akan sikap inklusif. Ibarat graha, inklusif adalah fondasi atau dasar. Sementara aksesibilitas adalah bangunannya.

Kata Inklusif berasal dari kata inclusion yang artinya mengajak masuk atau mengikutsertakan. Gerakan inklusif perlu terus digaungkan untuk mendorong lingkungan yang akses. Gerakan ini mengajak seseorang untuk menghargai, menghormati perbedaan karakteristik, kemampuan, suku, agama, budaya, status sosial, termasuk perbedaan bentuk fisik, sensorik, intelektual, dan sebagainya.

Pada intinya kita berada dalam lingkungan yang inklusif, yang semestinya bisa menerima dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Lingkungan inklusif adalah lingkungan sosial masyarakat yang terbuka, ramah, meniadakan hambatan dan menyenangkan karena setiap warga masyarakat tanpa terkecuali saling menghargai dan merangkul setiap perbedaan. Masyarakat yang inklusif menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dan keadilan.

Bila dikaitkan dengan teknologi inklusif, berarti teknologi tersebut harus dapat menjadi sarana bagi penyandang tunanetra dalam mengakses informasi yang tersaji. Sebagai sains terapan, teknologi dapat diartikan sebagai alat dan mesin yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah di dunia nyata. Teknologi juga berbicara bagaimana menggabungkan sumber daya untuk memproduksi produk yang diinginkan, untuk memecahkan masalah, memenuhi kebutuhan, atau memuaskan keinginan.

Jadi jelaslah dalam konteks ini, teknologi inklusif adalah teknologi yang sejatinya ramah bagi penyandang tunanetra. Teknologi yang dapat diakses sedetail-detailnya, selengkap-lengkapnya, dan terbuka. Ide besar teknologi inklusif terletak pada apa yang dilakukan dan dihasilkan bersama-sama tanpa sekat atau perbedaan untuk kepentingan bersama.

Isu inklusif masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa kita. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Direktur Jenderal Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Dr Samto Prawiro. Secara tersirat ia menyampaikan, Gerakan inklusif berupa kerja sama perlu dilakukan antarkementerian yakni Kemdikbud, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dan Kementerian Desa (Kemdes). Pernyataan ini disampaikan sehubungan dengan masih banyaknya penyandang tunanetra yang tidak dapat mengakses informasi, terutama yang tinggal di pelosok daerah.

Pernyataan tersebut menunjukan masih lemahnya kesadaran atau sikap inklusif. Jadi, bagaimana mungkin untuk memperoleh aksesibilitas, bila ruang inklusif tidak tercipta.

 

Menjadi Eksklusif

Seperti diketahui, banyak manfaat yang didapatkan oleh penyandang tunanetra ketika ia mampu menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Kemandirian akan tercipta dan otomatis privasi akan terjaga. Bukan hanya itu, dari hasil pengamatan, penyandang tunanetra yang mampu mengoperasikan teknologi informasi dan komunikasi semisal telepon pintar (smartphone) atau komputer, bahkan mampu berkontribusi dalam masyarakat.

Tengok saja nama-nama seperti Fery Janshen, Rio Darmawan, dan Richard Kennedy yang notabene pernah mengenyam pendidikan teknologi informasi dan komunikasi di Yayasan Mitra Netra. Mereka bukan hanya handal dalam mengoperasikan komputer atau telepon pintar, tapi juga mampu mengajari rekan-rekannya sesama penyandang tunanetra. Tak jarang  kepiawaian mereka menjadi “Eksklusif” bahkan dalam pandangan orang-orang non-tunanetra.

Eksklusif di sini bukan berarti menutup diri atau berkonotasi antisosial. Eksklusif di sini diartikan sebagai khusus, istimewa, unggul karena kepiawaiannya mengoperasikan teknologi, dan kontribusinya membagikan ilmu bagi masyarakat. Masih banyak nama-nama lain selain ketiga nama di atas.

Kontribusi mengajari warga non-tunanetra akan memunculkan kekaguman tersendiri. Seperti diceritakan Gressia Carolina, dan Anastasia, dua perempuan tunanetra yang mahir menggunakan teknologi informasi. Mereka memiliki pengalaman untuk mengajari warga non-tunanetra.

Sesungguhnya, teknik atau metode yang digunakan dalam mengoperasikan teknologi digital seperti komputer dan telepon pintar pada prinsipnya sama, baik untuk orang tunanetra maupun orang non-tunanetra. Perbedaannya hanya pada navigasi atau penelusurannya. Lazimnya penyandang tunanetra mengoperasikan telepon pintar atau komputer dengan menggunakan telinga, dimana alat teknologi tersebut dilengkapi fitur pembaca layar (screen reader). Sementara untuk orang awas atau non-tunanetra lebih banyak menggunakan penglihatan.

Lagi-lagi, kendala inklusif terletak pada masih banyaknya masyarakat yang abai dalam memberikan kesempatan mengakses informasi. Laman (website) yang tidak sepenuhnya akses adalah bukti bahwa teknologi inklusif masih jauh panggang dari api. Belum lagi toko daring (online) atau transportasi daring (online) yang aplikasinya masih ada yang tidak dapat diakses oleh pembaca layar.

Sekali lagi, tidak berlebihan rasanya bila penyandang tunanetra akan menjadi orang yang eksklusif, istimewa karena keunggulannya dalam mengakses informasi yang bukan hanya menjadikannya mandiri, tapi juga mampu berkontribusi. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan catatan terciptanya teknologi inklusif. Teknologi inklusif memungkinkan penyandang tunanetra menjadi eksklusif.

 

***

Ignatius Herjanjam

Juara 3 Lomba Menulis Essai dalam Rangka HUT ke-30 Yayasan Mitra Netra

Leave Comment