Ho Chi Minh City merupakan kota terbesar di Vietnam. Orang lebih mengenal Ho Chi Minh daripada Hanoi, ibu kota Vietnam, karena kota di dekat delta Sungai Mekong ini merupakan daerah kunjungan wisata. Aria Indrawati dari diffa mengunjungi kota cantik ini dan menuliskan catatan menarik.

Wellcome to Saigon! ujar kru kabin, sesaat setelah pesawat mendarat di Ho Chi Minh. Saigon? Aku jadi ingat, saat berada di bawah kekuasaan Amerika, kota yang semula ibu kota Vietnam Selatan ini bernama Saigon. Setelah perang Vietnam berakhir dan partai komunis berkuasa di seluruh Vietnam, nama kota ini diganti menjadi Ho Chi Minh City.

Hanya butuh waktu sekitar tiga jam terbang dari Jakarta ke Ho Chi Minh. Lebih lama terbang dari Jakarta ke Jayapura. Aku tiba sekitar pukul setengah sembilan malam.

Ada Bau Kali

Ini kunjunganku yang pertama di Vietnam. Kunjungan ini untuk menghadiri pertemuan yang diadakan Overbrook-Nippon Network on Educational Technology (ON-NET), sebuah jaringan kerja sama antar-organisasi non-pemerintah yang berkecimpung di bidang pemberdayaan tunanetra, untuk meningkatkan kualitas hidup tunanetra di ASEAN melalui pemanfaatan teknologi. Kerja sama regional ini digagas Overbrook School for The Blind, sekolah untuk tunanetra di Philadelphia, Amerika Serikat, dan didukung The Nippon Foundation.

Seperti biasa, karena aku penumpang berkebutuhan khusus (tunanetra), aku turun dari pesawat paling akhir. Begitulah aturannya. Penumpang berkebutuhan khusus yang melakukan perjalanan sendirian harus dibantu staf airline saat check in, boarding, dan unboarding. Saat naik ke pesawat, kami duluan, seperti orang penting. Namun saat unboarding, kami harus belakangan, menunggu semua penumpang turun.

Saat akan turun dari pesawat, seorang kru kabin memanduku berjalan dari kursi hingga pintu pesawat. Di luar pesawat, seorang petugas airline yang kutumpangi, laki-laki, telah menunggu. Mendengar suaranya saat berbicara padaku, kurasa tinggi kami sama.

Sebelum pergi, aku telah menyiapkan diri untuk menghadapi bahasa Inggris dialek Vietnam, yang sering kali terdengar lucu. Bagi orang yang baru pertama ngomong bahasa Inggris dengan orang Vietnam, pasti pusing. Dulu aku juga begitu, saat belajar di India dan bersahabat dengan teman dari Vietnam. Persoalannya terletak pada perbedaan alfabet yang mempengaruhi cara pengucapan mereka saat berbicara bahasa Inggris. Salah satu contoh, orang Vietnam tidak bisa atau sangat sulit melafalkan huruf L, karena memang tidak ada di alfabet mereka. Jadi, kalau mengucapkan kata school, misalnya, mereka akan bilang schoon. Bingung, kan?

Saat pertama mendengar orang Vietnam ngobrol, di telingaku terdengar seperti orang sedang bertengkar. Ribut sekali. Namun, ternyata nggak semua orang Vietnam ngobrol seperti itu. Ada juga yang berbicara dengan suara lembut seperti orang Thailand. Orang Vietnam yang pernah tinggal lama di luar negeri seperti temanku, Dang Hoy Phuc, bahasa Inggrisnya enak didengar.

Saat keluar dari ruang kedatangan, aku dijemput dua perempuan dari Sao My Computer Center For The Blind, lembaga yang mengorganisasi pertemuan kami. Seorang di antaranya adalah low vision atau lemah penglihatan seperti aku. Dia mahasiswa psikologi tahun ketiga. Hebat. Dari bandara kami langsung menuju Hotel Blue Diamond, tempat pertemuan sekaligus tempat seluruh peserta menginap.

Ho Chi Minh adalah kota dengan banyak kafe, kata Thom, salah seorang penjemputku yang bukan tunanetra, ketika dalam perjalanan menuju hotel. Sekitar sepuluh menit, tiba-tiba aku mencium bau kurang sedap, seperti bau Kali Angke di Jakarta. Aku bertanya kepada Thom. Ternyata betul, kami sedang melewati sungai. Namun, jangan salah. Meski di sisi kiri jalan ada kali dengan aroma yang aduhai, di sepanjang sisi kanan jalan berderet kafe yang penuh pengunjung. Orang Vietnam suka ke kafe setelah pulang kerja, jelas Thom.

Ho Chi Minh dibagi menjadi beberapa distrik. Hotel Blue Diamond tempat kami menginap terletak di Distrik 1, bagian kota Ho Chi Minh yang paling padat. Di blok tempat hotel itu berada, ada kira-kira enam hotel yang berjajar dan saling berhadapan. Semua tampak penuh turis, termasuk orang-orang Indonesia.

Pariwisata telah menjadi salah satu industri unggulan di Vietnam, dan berperan dalam mendongkrak perekonomian negara ini. Cuma sayang, seperti di Indonesia, penduduknya belum dipersiapkan secara optimal. Salah satu tantangan berkunjung di Vietnam adalah komunikasi dalam bahasa Inggris.

Lautan Motor

Seperti lazimnya kota besar, lalu-lintas di Ho Chi Minh sangat padat, namun kemacetannya tidak separah Jakarta. Di sini menggunakan sistem mengendara seperti di negara Barat, kursi pengemudi di sebelah kiri. Yang unik, sekitar 90 persen pengguna jalan adalah pengendara sepeda motor. Luar biasa. Mereka memenuhi hampir seluruh jalan. Mobil kalah, tidak hanya dari sisi jumlah, juga dalam keberanian menguasai jalan. Angkutan umum tampak tak banyak di sini. Orang lebih memilih membeli sepeda motor daripada menggunakan angkutan umum.

Itu karena pemerintah Vietnam mematok harga dan pajak yang sangat tinggi untuk pembelian dan kepemilikan mobil. Di Vietnam, harga mobil bisa setidaknya dua kali lipat dibanding negara lain di Asia. Jadi, hanya mereka yang sangat kaya yang dapat memiliki mobil. Dampaknya, rata-rata orang mengendarai sepeda motor. Benar-benar seperti lautan motor.

Tabiat para pengendara motor pun sama seperti sebagian besar pengendara motor di Jakarta. Mereka raja jalanan. Ngeri rasanya saat harus berjalan kaki dan menyeberang jalan.

Suatu sore, seusai pertemuan yang agak melelahkan, Criselda, peserta perempuan asal Thailand, memintaku menemaninya membeli obat sakit kepala di apotek dekat hotel tempat kami menginap. Karena dekat dan sudah mengetahui lokasi apotek itu, kami pergi berdua saja, tanpa pemandu. Bahkan, kami berdua sama-sama tidak membawa tongkat.

Untuk mencapai apotek itu kami harus menyeberang jalan. Agar mudah dan lebih aman, kami memilih menyeberang di trafic light, saat lampu sedang merah. Saat berangkat, semua aman dan beres. Namun, saat mau kembali ke hotel, ketika menyeberang di tempat yang sama, saat kami masih berada di tengah jalan, bunyi klakson-klakson seperti paduan suara. Seperti tak mau menunggu, motor-motor itu menyerbu ke arah kami. Aku sangat terkejut dan sempat berteriak. Ya, ampun, tak sabar sekali mereka. Mau copot rasanya jantungku.

Karena juga ingin menikmati suasana kafe di Ho Chi Minh, malam harinya aku dan dua peserta pertemuan asal Malaysia bersama Phuc, peserta dari Vietnam yang bertindak sebagai penyelenggara acara, berkunjung ke salah satu kafe di kota lautan motor ini. Agenda ini memang sudah kami jadwalkan, khususnya antara aku dan Phuc. Dia berjanji akan menyanyi dan bermain piano untukku. Dan dia menunaikan janji itu.

Tempat Bersejarah

Berkunjung ke tempat-tempat yang bersejarah adalah salah satu kegemaranku. Saat ke Vietnam, karena padatnya acara, aku hanya memiliki waktu setengah hari untuk melakukan kesenangan itu. Pada hari pertama saja, dan hanya di lokasi sekitar hotel kami menginap. Seusai makan siang, aku, Criselda, Wen dari ON-NET, dan Randy dari Filipina, menghabiskan waktu berjalan-jalan di sekitar hotel.

Tempat pertama yang ingin kudatangi adalah gereja. Tampaknya gereja itu sebuah katedral. Namun, saat mendekat, kami mendapati pintu pagar besi gereja tersebut dikunci. Jadi, kami tak bisa masuk. Sepertinya gereja indah ini sudah tidak digunakan lagi. Iseng-iseng, aku memanggil, Any body there? Aria, Tuhan sedang pergi, jadi gereja ini dikunci, sahut Randy. Iseng juga dia.

Menurut penduduk setempat, setelah partai komunis menguasai seluruh Vietnam, termasuk wilayah selatan, orang-orang yang beragama memilih berkumpul di satu wilayah. Di Ho Chi Minh, mereka antara lain berada di Distrik 2. Di sana mereka membangun gereja-gereja kecil, baik gereja Kristen Protestan maupun Katholik. Begitu juga mereka yang beragama Buddha.

Gagal memasuki gereja, kami melanjutkan perjalanan menuju Independent Palace. Phuc memang smart. Ia pilihkan hotel yang berada di kawasan wisata dan berdekatan dengan tempat-tempat bersejarah. Untuk memasuki Independent Palace, kita harus membayar 40.000 dong “ mata uang Vietnam. Dong bukan mata uang yang kuat. Satu US dolar setara 22.000 dong. Jadi, nilai tukar rupiah masih lebih baik.

Independent Palace adalah tempat kediaman resmi presiden yang berkuasa di Vietnam Selatan sebelum partai komunis menguasai seluruh negeri. Kini, istana megah tersebut dijadikan museum dan boleh dikunjungi masyarakat, termasuk wisatawan manca negara.

Untuk ukuran masa itu, tentu sangat mewah memiliki istana semacam ini. Ada ruang-ruang pertemuan kenegaraan untuk presiden, wakil presiden, ibu negara, serta istri wakil presiden. Ada pula ruang kerja, perpustakaan, ruang pribadi, serta ruang hiburan: musik serta teater. Di bawah tanah, ada ruang pelayanan, seperti dapur, serta ruang-ruang operasional rahasia. Seluruh komando dikirimkan dari sana. Di lantai tiga, selain tempat untuk berolahraga dan bersantai, ada landasan helikopter lengkap dengan helikopter yang digunakan presiden kala itu. Semua perabotan di Independent Palace ini tampak buatan luar negeri. Maklum, negara ini dulu pro Amerika.

Soal Makanan

Kunjungan di Vietnam memberikan tantangan tersendiri bagiku, khususnya soal makanan. Aku tak mengonsumsi makanan mengandung babi, dalam bentuk apa pun. Saat menunggu penerbangan di Bandara Cengkareng, seorang sesama penumpang yang telah sering ke Vietnam memberitahu, jika makan di hotel, apalagi hotel berstandar internasional, tak ada masalah. Namun, jika makan di restoran, harus berberhati-hati.

Ternyata benar. Pada acara welcoming dinner, seusai jalan-jalan, kami makan di sebuah restoran kelas menengah bergaya tradisional. Unik memang. Phuc mengatakan kepadaku, semua makanan yang dipesan tanpa babi agar aku dan peserta lain yang sama denganku bisa menikmati. Pada kenyataannya tidaklah begitu. Untuk orang Vietnam, mengonsumsi babi dalam bentuk apa pun, dagingnya, minyaknya, saos, dan sebagainya, menjadi bagian dari keseharian mereka.

Secara tradisional, orang Vietnam menggunakan mangkuk untuk makan. Alat bantu makannya sumpit atau sendok bertangkai pendek. Tidak ada garpu. Ini membuat Randy, peserta dari Filipina berkebangsaan Amerika, sering menggerutu. Dia bilang, kalau berkunjung lagi ke Vietnam dan mau makan di restoran tradisional, ia akan membawa garpu sendiri. *Aria Indrawati

Leave Comment