Fina bersama suami dan anaknya

Masih banyak masyarakat yang meragukan kemampuan perempuan tunanetra sebagai seorang istri atau ibu. Seringkali orang awam bertanya-tanya, bagaimana mungkin perempuan yang memiliki keterbatasan penglihatan dapat mengurus rumah tangga? Apakah mungkin perempuan tunanetra dapat merawat suami dan anak dengan baik, sementara mengurus diri sendiri saja masih dibantu orang lain? Jika kamu termasuk sebagian orang yang merasakan keraguan itu, berarti sudah waktunya untuk menyimak cerita perempuan tunanetra yang satu ini. Penasaran bagaimana pengalamannya menjalani peran sebagai istri dan ibu? Yuk, baca saja kisahnya!

 

Menjalani Hidup Sebagai Tunanetra

Fina Triyas Nordiantika adalah seorang tunanetra low vision sejak lahir. Fina, begitu sapaan akrabnya, tak pernah menyadari bahwwa keterbatasan penglihatannya itu merupakan sebuah kondisi ketunanetraan. Fina menganggap kondisi matanya adalah hal yang wajar, karena sang ibu pun juga memiliki gangguan penglihatan yang sama. Fina yang memahami kondisi sang ibunda, selalu berupaya untuk melakukan aktivvitas sehari-harinya secara mandiri. Mulai dari mempersiapkan keperluan dan berangkat sekolah sendiri, bersikap asertif saat menghadapi masalah, serta menjalankan tugas-tugasnya dengan penuh kesadaran.

“waktu itu nggak tahu kalau saya tunanetra, hanya berpikir  kalau kurang awas aja matanya. Tapi nggak merasa minder juga karena kalau di sekolah saya selalu berusaha menunjukkan prestasi sebagai kompensasi dari kondisi penglihatan yang kurang”, tutur Fina menceritakan ketunanetraannya.

Beranjak dewasa, Fina yang telah lulus SMA mengalami penurunan penglihatan. Ketidaktahuannya tentang dunia tunanetra menyebabkan Fina saat itu urung melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Fina mengalami kesulitan dalam menjalani proses kuliahnya sehingga dia memutuskan untuk mencari berbagai kegiatan yang mungkin bisa dilakukannya tanpa banyak mengandalkan penglihatan. Meski terus menemui kegagalan dalam merintis masa depannya, perempuan berdarah jawa ini tak patah semangat. Di usia 23 tahun, Fina yang telah menyadari bahwa dirinya adalah seorang tunanetra, merantau ke kota Malang, Jawa Timur. Di sebuah panti rehabilitasi bina netra, Fina mulai menimba berbagai ilmu demi bisa menjalani kehidupannya sebagai tunanetra yang mandiri.

“saat belajar di panti rehabilitasi bina netra di Malang, saya meraup semua ilmu yang ditawarkan. ssaya yang tadinya sedih nggak bisa baca buku, jadi semangat belajar braille. lalu belajar ilmu dasar komputer, terapis pijat dan keterampilan lainnya untuk menunjang kemandirian sebagai tunanetra”, imbuhnya.

 

Menjalani Peran Sebagai Istri dari Suami Non-tunanetra

Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 2009, Fina bertemu dengan calon suaminya dalam momentum silaturahmi hari raya Idul Fitri. Dari pertemuan singkat itu, keluarga sang calon suami menyatakan keseriusannya untuk meminang Fina. Sempat terbersit keraguan di hatinya saat itu. Fina merasa masih belum cukup menimba ilmu kemandirian sebagai tunanetra, sehingga dirinya bimbang apakah mampu menjadi istri yang baik. Namun, nasihat dari seorang teman tunanetra memantapkan niat Fina untuk menerima lamaran tersebut. Fina resmi menikah dengan Sutono Arie di tahun 2011 dan menetap di Jakarta.

“menikah itu pasti ada tantangannya masing-masing. Analoginya kayak mendapat pelajaran di sekolah. Belum apa-apa udah bilang sulit, padahal bukunya ada tapi kita malas bacanya. Kalau dipelajari dan dijalani perlahan-lahan, pasti juga bisa dan terbiasa. Jadi mau yang menikah itu sesama tunanetra, sesama orang awas, atau tunanetra dengan orang awas, ya pasti tetap ada tantangannya”, ujar Fina menirukan nasihat yang diberikan temanya sesama tunanetra.

Fina merasa sangat bersyukur karena keluarga sang suami tak pernah mempermasalahkan kondisi ketunanetraannya. Akan tetapi, menjalani penyesuaian diri selama 6 bulan awal pernikahannya yang tanpa masa pacaran, ternyata cukup menantang bagi perempuan berhijab ini. Bagi Fina, memiliki pasangan non-tunanetra, bukan berarti tak ada persoalan. Terkadang perbedaan standar dan pemahaman situasi bisa menjadi kerikil dalam jalannya pernikahan. Namun, Fina selalu menyadari bahwa menjalani pernikahan adalah bentuk tanggung jawab yang harus Ia tunaikan, tapi tetap harus dinikmati prosesnya demi kebahagiaan banyak pihak.

”semua orang itu kan punya kelebihan kekurangan, baik itu orang yang non-disabilitas atau kita yang tunanetra. yang lebih penting itu, sebagai istri kita tunaikan kewajiban dan lakukan yang terbaik”, ungkap Fina saat ditanya tentang bagaimana dia menjalani perannya sebagai istri.

Baca juga: Memaknai Hari Guru Nasional Bersama Abizard Giffari, Relawan Peer Teaching di Mitra Netra

 

Menjalani Peran Sebagai Ibu Tunanetra

Di tahun 2013, keluarga kecil Fina semakin lengkap dengan kehadiran Freyanka Anindyawirani Fiorenza. Selama 10 bulan, Fina menetap di kampung halamannya, Ponoroggo, Jawa Timur, untuk melahirkan serta menuntaskan program imunisasi Eya, nama kecil Freyanka. Berada di dekat keluarga besar, tentunya membuat Fina merasa sangat terbantu dalam mengurus sang buah hati. Namun selepas itu, Fina harus kembali ke Jakarta. Tantangan lain sebagai ibu tunanetra pun telah menanti. Berada jauh dari keluarga di perantauan, suami bekerja hingga malam hari, mengharuskan Fina untuk merawat serta menjaga sendiri Eya. Di sinilah mentalnya sebagai ibu benar-benar teruji.

“jauh dan sendiri di rantau, mau nggak mau ya kita harus kreatif. Saya telpon teman tunanetra yang sudah berpengalaman. Saya yakin, tantangan seperti ini ada jawabannya, yang penting mau berusaha cari solusinya”, tegasnya.

Meski bukan hal yang mudah merawat anak dalam kondisi tunanetra dan jauh dari keluarga, namun Fina merasa ada hikmah yang bisa dipetik. Fina tak pernah mengeluh saat ibu-ibu lain bisa mengantarkan anak mereka ke sekolah menggunakan motor. Sementara  dia harus menggendong Eya yang lelah berjalan kaki. Fina selalu memotivasi Eya untuk bisa belajar bersepeda, sehingga Eya tak perlu lelah berjalan saat pergi ke sekolah. Perlahan namun pasti, Eya menjadi anak yang lebih mandiri, tidak cengeng dan lebih memahami kondisi ketunanetraan Fina. Hikmah yang dulu didapat Fina dari sang ibunda, kini dapat bermanfaat dalam mendidik putri kecilnya.

“kuncinya adalah terus belajar dan berusaha. Jangan mengeluh, karena itu akan melemahkan diri sendiri. Buat saya, menjalani peran sebagai ibu dan istri itu sama seperti menjalani hidup. Hidup belajar, belajar itu proses dan tentunya membutuhkan waktu. Jadi, kita perlu terus belajar agar terbiasa dan bisa melakukannya”, ujarnya.

Baca juga: Bangga, Ini Dia Tunanetra Muda Pemenang  Dilo Hackathon Festival 2020!

 

Menjalani Hidup Seimbang dan Bahagia Sebagai Perempuan Tunanetra

Kini Fina akan menyambut usia 10 tahun pernikahannya pada Januari 2021. Telah banyak proses adaptasi yang dilalui Fina bersama sang suami, hingga kini mereka telah mencapai tahap saling mengerti, menghargai serta mendukung satu sama lain. Tentunya proses tersebut tak berhenti sampai di titik ini. Masih akan ada pemahaman-pemahaman yang akan dicapai oleh Fina dan keluarga kecilnya di masa yang akan datang. Fina menitipkan sebuah harapan pada perempuan tunanetra di Indonesia, agar lebih percaya diri, menghargai kemampuan yang dimiliki dan fokus berpikir positif.

“letak masalahnya bukan apakah perempuan tunanetra itu mampu atau tidak mampu jadi istri dan ibu, tapi persoalannya adalah seringkali perempuan tunanetra kurang menghargai dirinya, kemudian mendengarkan pendapat orang lain yang merugikan diri sendiri. Kalau kita kurang menghargai diri sendiri, mana mungkin orang lain bisa menghargai kita. Itu yang pada akhirnya juga membuat masyarakat meragukan apakah perempuan tunanetra mampu mengurus keluarganya”, ucapnya penuh semangat.

fina juga menambahkan bahwa dalam proses menjalani kehidupan pernikahan, perempuan tunanetra juga harus tetap memilih untuk bahagia. Pilihan untuk bahagia itu adalah seimbang antara menjalankan kewajiban sebagai istri dan ibu, serta tetap memiliki wwaktu untuk diri sendiri. Sebagai contohnya, saat ini Fina merasa sangat bersyukur dapat menemukan Yayasan Mitra Netra. Bagi Fina, di tengah kesibukannya sebagai ibu dan istri, dia selalu menyempatkan waktu datang ke Mitra Netra. Tak hanya untuk mengembangkan skill komputer bicaranya, tapi juga untuk memuaskan hobi membaca buku di perpustakaan khusus tunanetra, ikut kelas memasak  dan berinteraksi dengan sesama tunanetra. bahkan Fina juga selalu bersemangat mengikuti kegiatan hiburan seperti nonton film atau kegiatan olahraga yang sesekali diadakan Mitra Netra. Dengan mengikuti berbagai kegiatan yang disukainya, semakin membuat Fina bahagia dan seimbang. Hal tersebut memberikan pengaruh yang positif dalam hubungan pernikahannya, karena hati yang bahagia membawa Fina memiliki komunikasi yang lebih sehat pula dengan suami dan putri semata wayangnya.

“Mitra Netra itu harapan dan spirit untuk tunanetra. Semua program, layanan dan interaksi bersama tunanetra di Mitra Netra membuat saya bahagia dan itu membawa dampak positif pada kehidupan pernikahan. Berbagai interaksi yang saya lakukan di Mitra Netra dapat memberikan relaksasi yang saya butuhkan, dan rasanya perempuan, istri dan ibu tunanetra butuh relaksasi untuk tetap bahagia”, tandasnya.

*Juwita Maulida

 

Leave Comment