Rifka menggunakan kerudung merah sedang tersenyum dengan background pepohonan

“aku nggak akan bisa jjadi perempuan tunanetra yang maju, aktif dan berperan di organisasi, di kantor, dan di masyarakat, kalau nggak diberikan kesempatan dan didukung oleh keluarga dan para lelaki di sekitarku”

Demikian ungkapan Rifka saat mengamini pernyataan bahwa di balik keberhasilan perempuan untuk berperan di masyarakat, pasti ada pria dan keluarga yang sangat mendukung. Tentunya Rifka menyetujui hal tersebut bukan tanpa alasan. Perempuan tunanetra asal Lampung ini merupakan seorang istri, ibu, dan wanita karir yang memiliki segudang aktivvitas. Bahkan, Rifka pun masih aktif berorganisasi dan mengikuti berbagai pelatihan pengemmbangan diri. Nah bagaimana Rifka menjalani semua peran tersebut sebagai perempuan tunanetra? Dan bagaimana bentuk dukungan dari keluarga dan orang-orang disekitarnya? Yuk, simak cerita selengkapnya di sini!

Baca jjuga: Fina Triyas Nordiantika: Buktikan Perempuan Tunanetra Mampu Jalani Peran Sebagai Istri dan Ibu

 

Penyebab Ketunanetraan

Rifka ialah seoorang tunanetra baru. Terhitung sejak cerita ini ditulis, pemilikk nama lengkap Rifka Aprilia ini telah kehilangan penglihatannya sejak 3 tahun lalu. Ia memiliki kehidupan bersama keluarga yang bahagia serta karir yang diinginkannya. Sampai pada Mei 2018, Rifka mulai merasakan masalah kesehatan yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit berulang kali. Gejala-gejala sakit yang dideritanya mirip seperti sakit lammbung (maag). Namun, akhirnya Rifka menyadari bahwwa dia bukan menderita sakit lambung seperti yang diduga sebelumnya. Hal ini lantaran kemampuan penglihatannya lambat laun ikut menurun.

“Sejak Mei-Desember 2018 itu aku bolak balik Lampung-Jakarta untuk menjalani pengobatan ditemani oleh suami. Kalau dihitung-hitung sekitar 10 RS di Jakarta aku datangi demi mengetahui penyakit yang aku derita. Ternyata aku mengidap penyakit kelainan darah yang cukup langka yaitu tormbositosis esensial.  Penyakit ini bikin kadar trombosit aku meningkat tinggi dari jumlah normal sehingga mengakibatkan penyumbatan pada pembuluh darah. Jadi penyakit ini bikin domino effect,karena penyakit ini, aku jadi menderita cerebral vein thrombosys (CVT) dan oklusi retina sentral atau stroke mata. Kalo CVT itu bikin kepala aku sakit banget sampai harus dikasih obat penghilang rasa sakit gitu, dan kalau oklusi retina sentral bikin mata aku perlahan gelap seperti mati lampu”, tutur Rifka saat menceritakan penyebab ketunanetraannya.

Pada Desember2018 hingga Januari 2019, Rifka yang belum menyadari bahwa semua gejala-gejala tersebut mengarah pada kebutaan, terus berupaya mencari pengobatan medis bersama sang suami, Dedy Hendriyadi. Namun, setiap dokter yang ditemui mengungkapkan pernyataan serupa, mereka angkat tangan dan tak sanggup menyelematkan penglihatannya.

“Aku masih ingat banget perasaan aku ketika divonis dokter bahwa aku akan menjadi tunanetra. Perut rasanya mual dan mau muntah, badan lemes, dan gak nafsu makan. Aku Cuma berdua sama suami di RS di Jakarta, benar-benar suram banget deh hari itu pokoknya. Sejak saat itu, aku menjalani hari-hari penuh kedukaan dan kesengsaraan. Aku benar-benar gak bisa terima keadaan. Aku menangis setiap hari, gak mau ketemu orang, gak mau ngomong. Kayaknya gejalanya sih udah mengarah ke gangguan psikologis dan stress”, kenang Rifka.

Baca juga: Putri Rokhmayati: Mahasiswi Tunanetra Pertama di Jurusan Teknik Informatika Unpam

 

Dukungan dan Motivasi dari Keluarga

Di masa-masa sulit inilah, Rifka amat bersyukur karena memiliki keluarga yang selalu menyuntikkan motivasi dan dukungan. Selama 6 bulan usai vonis kebutaan disampaikan oleh dokter, Rifka belajar melewati dan menerima kondisi ketunanetraannya. “Aku memperoleh motivasi terbesar dari Allah SWT pastinya, karena beneran aku ngerasa kuat banget saat itu untuk menjalani hidup. Selain itu, aku dapat motivasi juga dari keluarga dan teman. Meskipun mereka sedih, tetapi tetap berusaha kuat demi aku. Suami selalu menguatkan aku untuk ikhlas. Kedua orang tua dan adikku juga selalu siap mendampingi ke mana saja dan membantu merawat anak-anak di masa awal aku jadi tunanetra”

Selain adanya kehadiran keluarga yang senantiasa mendampingi, perempuan kelahiran Bandar Lampung ini percaya bahwa Tuhan memiliki rencana yang baik untuk dirinya. “Sekitar enam bulan setelah menjadi tunanetra, aku mulai dapat menerima keadaan. Aku sadar bahwa ini semua takdir yang sudah digariskan oleh Allah untuk aku, jadi aku harus menerimanya dengan ikhlas. Lagipula Allah gak akan kasih cobaan kalau aku gak bisa menjalaninya. Nah sejak saat itu aku ngerasa ada kekuatan dan motivasi dari diri untuk menjalani hidup, meskipun saat itu aku benar-benar hanya menjalani aktivitas di rumah saja”.

Dalam kondisi tunanetra total tersebut, Rifka juga belajar menerima apa pun keputusan atas status pekerjaannya. Selama menjalani pengobatan, Rifka telah mengambil cuti setahun dari pekerjaannya sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung. Rifka yang memiliki gelar pasca sarjana bidang manajemen dari Universitas Bandar Lampung ini ikhlas jika tempatnya bekerja akan memberikan keputusan pensiun dini. Saat itu, Rifka berpikir bahwa Ketika ia kehilangan seluruh penglihatannya, maka tak ada  lagi kemampuan yang dimilikinya untuk bisa kembali bekerja. Tapi, ada satu peristiwa yang akhirnya mengubah jalan hidup Rifka hingga hari ini.

“Saat itu aku dan keluarga gak tahu harus cari info atau belajar kemana untuk melakukan rehabilitasi. Tetapi suatu hari, aku dapat telepon dari Pertuni Lampung yang mengajak aku untuk mengikuti kegiatan capacity building di sebuah hotel di lampung. Pada acara tersebut, aku dan suami benar-benar terpana melihat para tunenetra yang mahir mengoperasikan laptop dan handphone serta berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan”, ujjarnya sambil tertawa.

Dari momentum itulah, kemudian Rifka lebih mengenal dunia tunanetra yang penuh harapan. Perempuan 36 tahun ini sangat bersemangat mempelajari penggunaan perangkat lunak pembaca layar secara otodidak, baik untuk perangkat laptop maupun di ponsel pintar. Meski belajar secara otodidak dirasa cukup menantang dan penuh perjuangan, namun Rifka pantang menyerah.

“Nah, setelah mulai bisa pakai hp dan laptop lagi, aku memberanikan diri untuk kembali ke kantor dan mengadvokasi pimpinan. Akhirnya Alhamdulillah aku diperbolehkan lagi bekerja seperti sedia kala hingga saat ini”, ucap Rifka penuh syukur.

Baca juga: Cheta Nilawaty: Tetap Jalani Profesi Sebagai Jurnalis Tunanetra Berkat Program “Return to Work”

 

Aktif Mengembangkan Potensi Diri

Tak berhenti sampai belajar mengoperasikan ponsel pintar dan komputer bicara saja. Perempuan yang mengaku suka tantangan dan mencoba hal baru ini berkeinginan untuk mengembangkan potensi diri sambil mengenal dunia tunanetra lebih dalam.  Menurutnya ada beberapa hal yang dulu dapat dilakukannya sebelum menjadi tunanetra, misalnya menari dan menjadi instruktur aerobik, tapi kini mungkin sulit untuk dilakukan. Hal itulah yang lantas mendorong Rifka untuk menemukan potensi diri lain.

Berbagai kursus dan pelatihan pun Rifka ikuti demi meningkatkan kemampuannya sejak menjadi tunanetra. Sepanjang 2021 saja ia sudah mengikuti pelatihan ilmu kewirausahaan, public speaking, digital marketing, hingga di bidang kepenulisan, seperti content writing dan menulis artikel opini. Pandemi Covid-19 pun membawa keberkahan tersendiri bagi Rifka. Impiannya untuk berkunjung dan belajar di Mitra Netra yang urung diwujudkan karena berbagai alasan, jjustru membuka pendaftaran kursus daring karena dampak pandemi sehingga Rifka dapat mengikutinya dari kediamannya di Lampung. Tercatat kelas yang telah diikutinya di Yayasan Mitra Netra, antara lain kursus komputer bicara tingkat dasar dan internet lanjutan, serta creative writing training. Pada Maret mendatang, Rifka juga akan mengikuti cconversation class dari Mitra Netra English Club.

Baca juga: Adinda Luna Maharani, Pupuk Kembali Kepercayaan Diri di Kelompok Teater VIP Mitra Netra

 

Berperan di masyarakat dan Harapan untuk Sesama Perempuan Tunanetra

Kini Rifka telah menemukan kembali harapan dan semangat hidupnya sebagai seorang perempuan tunanetra yang aktif dan berdaya. Lalu, apakah dengan kembali bekerja, bisa mengembangkan potensi diri, dan memiliki keluarga yang suportif telah membuat Rifka merasa puas?  “aku ngerasa kehidupanku setelah menjadi tunanetra itu makin berwarna deh. Dulu aku males banget untuk ikut pelatihan dan sudah berada pada zona nyaman. Hidup aku dulu gitu-gitu aja dan gak seseru saat ini haha”, selorohnya.

“Nah kalau sekarang tuh aku jadi lebih memiliki banyak ambisi. Jadi lebih pingin banyak tahu tentang apapun. Jadi pingin kenal lebih banyak dengan tunanetra dan disabilitas lain. Bahkan aku jadi lebih peduli dengan para disabilitas. Aku pingin banget bisa memperjuangkan hak penyandang disabilitas dan membantu teman-teman penyandang disabilitas untuk lebih berdaya.”, ucap Rifka bersemangat.

Ketika ditanya pendapatnya tentang apakah perempuan tunanetra mampu dan harus berperan di masyarakat. Beginilah jawaban perempuan yang saat ini aktif sebagai Anggota Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FormasiDisabilitas) dan di DPD Pertuni Lampung. “menjadi seorang perempuan tunanetra itu sering mengalami stigma atau diskriminasi berlapis. Aku sendiri mengalami ini ketika di masyarakat. Meski begitu, perempuan tunanetra juga harus tangguh dan berpartisipasi di lingkungan, komunitas, maupun organisasi. Karena bagaimana pun, sebagai perempuan tunanetra, nantinya kita juga akan menjadi teladan, khususnya bagi anak-anaknya atau bagi sesama perempuan tunanetra lainnya”, urainya.

Rifka juga menyampaikan sekelumit harapan bagi dirinya sendiri dan sesama perempuan tunanetra di Indonesia. Ibu dari 3 anak ini berharap dapat terus meningkatkan kemampuan diri  serta dapat mendorong perempuan tunanetra lebih percaya diri, aktif, dan berperan di masyarakat tanpa melupakan kodratnya sebagai istri dan ibu. “perempuan tunanetra harus tetap muncul di masyarakat, punya pilihan untuk bekerja, mengurus keluarga dan aktif di organisasi. Karena kalau tidak begitu, masyarakat tidak akan melihat kehadiran perempuan tunanetra yang berdaya, berprestasi, dan berperan di masyarakat. Nah, kalau bukan kita, perempuan tunanetra yang muncul, siapa lagi, kan”,  pungkasnya.

 

*Juwita Maulida

Leave Comment