Ariyani Sri Ramadani

“Tantangan paling besar yang aku hadapi ketika kuliah adalah banyak ketemu angka, rumus, dan grafik. Belum lagi kalo dosen jelasin sambil nunjuk papan tulis tanpa deskripsiin apa yang tertulis di sana. Wah, itu tantangan banget sih,” ungkap Aryani Sri Ramadhani, penyandang tunanetra yang baru saja memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Manajemen Universitas Pamulang, pada September 2022 lalu. Bagaimana kisah Yani menjalani pahit manis dunia perkuliahan? Yuk, simak kisah lengkapnya di bawah ini!

Baca juga Aryani Sri Ramadhani: Perempuan Tunanetra yang Jadi Manfaat Lewat Sejuta Peran

 

Awal mula tercetus keinginan berkuliah

Pada awalnya, Yani, demikian ia akrab disapa, belum dapat melanjutkan pendidikannya ke peerguruan tinggi karena memutuskan untuk menjalani peran sebagai istri dan seorang ibu. Namun, beberapa tahun berselang, asanya untuk mendapatkan gelar sarjana kembali muncul dalam hatinya. Perempuan kelahiran Mei 1988 ini juga semakin termotivasi lantaran hal itu pula yang menjadi harapan dari orang tuanya.

Ketika akhirnya Yani mendapat restu dari sang suami dan mendaftarkan diri untuk berkuliah, ia  memilih program studi yang terbilang jarang dipilih oleh tunanetra. pada umumnya, tunanetra lebih memilih program studi yang tak banyak bersentuhan dengan angka, rumus, dan grafik. Hal ini lantaran masih banyak kegiatan pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan berhitung  belum menerapkan strategi yang tepat untuk tunanetra, sehingga menyulitkan untuk memahami materi bagi mereka yang tak berpenglihatan. Namun, berbeda dengan Yani, ia mantap memilih program studi manajemen waktu itu.

“Emang dari SMA aku tuh suka dengan ilmu sosial terutama ekonomi. Jadi, ketika kuliah pilihnya program studi manajemen. Eh, gak taunya aku buka bisnis, jadi berasa pas banget ilmu kuliahnya bisa dipraktikkan di bisnis aku,” ujar perempuan yang membuka bisnis kuliner Ayam Geprek Petukangan ini.

Baca juga: Berani Mencoba. Jurus Sakti Ayu Ningsih Hadapi tantangan sebagai low vision

 

Tantangan Perkuliahan dan trik untuk menghadapinya

Yani menuturkan, selain harus bergulat dengan angka dan penjelasan dosen yang kurang dapat dipahami, ia pun harus berjuang memperoleh buku materi kuliah. “Sebenarnya sekarang tuh udah enak banget, karena semua dosen udah punya e-book. Tapi kadang kan gak bisa dibaca oleh screen reader, karena berupa gambar atau scan dokumen. Nah, saat itu aku harus jelasin bahwa gak semua e-book tuh bisa terbaca oleh tunanetra.”

Sebagai mahasiswa tunanetra angkatan pertama pada Universitas Pamulang, Yani merasa bahwa lingkungan dan sarana yang tersedia belum sepenuhnya aksesibel. Akan tetapi, pihak universitas dan para mahasiswa tunanetra saling membuka diri dalam melakukan perbaikan demi menciptakan lingkungan yang lebih aksesibel. Yani dan teman-temannya tak lelah mengedukasi tentang kebutuhan tunanetra, sedangkan pihak universitas berlapang dada menerima berbagai masukan yang positif. Hingga akhirnya, perlahan tapi pasti mulai tercipta ekosistem pendidikan yang aksesibel pada Universitas Pamulang.

Selain itu, perempuan pecinta ayam goreng tepung ini memiliki trik mumpuni dalam menaklukkan berbagai tantangan yang dihadapinya. “Aku kan kuliahnya sekali sepekan, yaitu di hari Sabtu. Trus, biar bisa lebih memahami materi kuliah terutama yang berupa angka dan rumus, aku minta tambahan belajar dengan dosen pendamping di hari lain. Jadi aku kuliahnya dua hari deh,” ungkapnya seraya tertawa.

Baca juga: 3 Kunci Sukses Riandi Pratama Tembus Loker Bappenas

 

Perempuan yang selalu optimis ini sangat menikmati ketika dapat bertemu dan berbincang dengan para dosen dan teman kuliahnya. Cerita unik dari setiap orang membuatnya lebih berenergi dan bersemangat. Yani seperti menemukan keluarga baru sebagai tempat berbagi dan bercerita. Ia pun bahagia saat mampu memberikan pemahaman tentang dunia tunanetra di lingkungan kampusnya.

Ia menyoroti pentingnya kemampuan berkomunikasi dalam dunia perkuliahan. Menurutnya, mahasiswa tunanetra memiliki peran sebagai agen perubahan (agent of change) yang harus mampu mengkomunikasikan terkait kebutuhan sarana dan lingkungan yang aksesibel. Tidak semua orang mengerti kebutuhan tunanetra, sehingga mahasiswa tunanetra harus mampu memberikan penjelasan dengan komunikasi yang baik.

“Gak semua orang bisa langsung terima keberadaan tunanetra. Awalnya pasti ada yang kaget dan bingung. Ada juga yang takut salah ngomong, dan takut bikin kita tersinggung. Nah,saat itulah kita harus bisa komunikasiin dengan baik. Jangan cepat emosi kalau  belum semuanya dapat diakses dengan mudah.   Trus gak boleh baper juga pastinya, karena yang ada orang tuh malas ngobrol sama kita.”

 

Keterampilan lain yang tak kalah penting untuk dimiliki tunanetra sebagai modal berkuliah adalah kemampuan menggunakan perangkat teknologi. “Yang pasti sih harus menguasai penggunaan handphone dan laptop. Karena memudahkan banget untuk belajar dan cari bahan bacaan. Bahkan  ujian pun harus pakai laptop. Sebaiknya juga menguasai penggunaan internet, microsoft word, excel, dan power point.”

Ia bersyukur karena telah memiliki semua keterampilan tersebut yang dipelajarinya di  Yayasan Mitra Netra. Sejak bertemu dengan Mitra Netra di tahun 2008 silam, ia mempelajari banyak hal. Mulai dari mempelajari huruf braille, mengetik sepuluh jari, komputer bicara, penguasaan internet, hingga bahasa inggris. Semua keterampilan tersebut menjadi bekal yang sangat berharga dalam upaya memperoleh gelar sarjana yang diimpikannya.

Baca juga: 4 Fakta Adinugraha, Tunanetra yang Berprofesi Sebagai Programmer

 

Harapan di masa mendatang

Sekelumit harap disampaikan Yani bagi para tunanetra. jejaknya yang berhasil lulus dari bangku kuliah diharapkan dapat menjadi motivasi bagi para tunanetra di Indonesia. “Buat teman-teman tunanetra, harus tetap semangat untuk kuliah, karena pasti akan banyak manfaat bagi masa depan. Harus pantang menyerah karena kuliah itu emang gak mudah dan butuh waktu yang lama. Jangan lupa untuk bekali diri dengan berbagai keterampilan biar gak kesulitan beradaptasi dengan dunia perkuliahan.”

Ketika ditanya apa rencananya setelah lulus kuliah, perempuan yang juga aktif berorganisasi di Persatuan TunaNetra  Indonesia (Pertuni) DKI Jakarta sebagai ketua bidang pemberdayaan perempuan ini ingin meneruskan langkahnya mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Perempuan yang gemar membaca ini ingin selalu bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Ilmu yang didapat di bangku kuliah tak hanya didedikasikan bagi keluarga tercinta, tetapi juga bagi lingkungan sekitar. Ia tak pernah berpuas diri. Karena bagi Yani, tantangan tercipta untuk ditaklukkan, bukan dikeluhkan.

“Pinginnya sih lanjut lagi kuliah dan ambil bisnis. Karena kan emang dunia aku tuh bisnis banget, pingin bisa mengembangkan bisnis aku juga dan kasih banyak manfaat ke orang banyak. Mohon doanya agar aku bisa terus belajar biar usaha aku bisa terus berkembang. Dan bisa bantu teman-teman lain juga.”, pungkasnya.

*Rifka Aprilia

Editor: Juwita Maulida

 

Leave Comment